Setelah Usmar Ismail, Kiai Said Akan Perjuangkan Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional
Selasa, 23 November 2021 | 05:00 WIB
Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj pada a Kiai Said dalam Malam Tasyakuran Anugerah Pahlawan Nasional Usmar Ismail bertajuk ‘NU dan Jalan Kebudayaan’, di Gedung PBNU Jakarta, Senin (22/11/2021). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Said merasa sangat bersyukur dan bangga karena Pendiri Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU H Usmar Ismail mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional, pada 10 November 2021 lalu.
Usmar Ismail memperoleh gelar pahlawan nasional itu menyusul para tokoh NU yang juga sudah bergelar pahlawan nasional. Di antaranya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahid Hasyim, KH Wahab Chasbullah, KH Idham Chalid, dan KH As’ad Syamsul Arifin.
"Ke depan, mari kita upayakan dan perjuangkan, khususnya untuk Almarhum Gus Dur agar beliau mendapatkan gelar pahlawan nasional. Sangat layak. Seharusnya bangsa ini berterima kasih kepada Gus Dur sebagai tumbal demokrasi selama 32 tahun ketika pemerintahan otoriter dan tidak demokratis," kata Kiai Said dalam Malam Tasyakuran Anugerah Pahlawan Nasional Usmar Ismail bertajuk NU dan Jalan Kebudayaan, di Gedung PBNU Jakarta, Senin (22/11/2021).
Selanjutnya, Kiai Said menyampaikan pandangan Al-Qur’an mengenai penyair, seniman, atau budayawan yang termaktub dalam QS Asy-Syu’ara ayat 224-227. Dikatakan, para seniman adalah orang-orang yang penuh khayalan. Mereka bisa berbicara tetapi tidak melakukan.
"Yang dibicarakan tidak dilakukan, maka mereka rugi. Kecuali seniman yang beriman kepada Tuhan dan beramal shaleh, beramal baik, itulah kekasih Allah, itulah yang dipilih Tuhan, bukan seniman dan budaywan yang lainnya,"terang Pengasuh Pesantren Al Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan itu.
"Kita yakin, Pak Usmar Ismail dan Pak Asrul Sani sebagai budayawan dan seniman yang beriman kepada Allah dan meninggalkan amal shaleh yang bermanfaat untuk kita," imbuh Kiai Said.
Martabat bangsa
Sebagai upaya membangun kebudayaan yang baik, Kiai Said lantas membacakan sebuah syair karya sastrawan asal Mesir Ahmad Syauqi Beik. Ia kemudian memaknai syair itu bahwa martabat bangsa tergantung dari budayanya.
Jika budaya di suatu negara baik maka martabat bangsa akan unggul. Sebaliknya, apabila budaya hancur niscaya kehormatan bangsa juga ikut hancur. Sebagai perbandingan, Kiai Said mencontohkan peradaban budaya di negara-negara di Timur Tengah dan Jepang.
"Kita lihat di Timur Tengah. Agama, syariat, dan teologinya benar tetapi budayanya hancur maka di mata dunia mereka rendah sekali. Bandingkan dengan Jepang. Agama, teologi, dan ibadahnya tidak jelas tetapi berbudaya tinggi karena disiplin, tidak korupsi, HAM terlindungi, bermartabat. Dunia segan dan hormat dengan bangsa Jepang padahal teologinya tidak jelas,” jelas Kiai Said.
Dari situ, Kiai Said menyimpulkan bahwa sesuatu yang mampu mengangkat martabat sebuah bangsa adalah budaya bukan agama. Lebih-lebih apabila memiliki budaya yang unggul ditambah teologi dan agama yang benar.
“Maka Islam itu bukan hanya teologi saja tetapi Islam agama budaya, agama seni, agama kemanusiaan, agama sosial. Di sinilah pentingnya NU berjuang, punya prinsip yang tidak akan luntur. Kita tetap memperjuangkan Islam wasathiyah, Islam moderat yang toeran. Melalui segala jalan terutama khususnya melalui seni ini,” tegasnya.
Menurut Kiai Said, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa bukan hanya demi menyelamatkan Indonesia secara geografis semata tetapi juga demi keselamatan budaya, jati diri, dan kepribadian bangsa Indonesia.
“Saya sekolah di Arab 13 tahun tetapi saya pulang bawa ilmu, tidak membawa budayanya. Saya bangga dengan budaya Indonesia. Gus Dur, Gus Mus, Prof Quraish Shihab, semua keluaran Timur Tengah tetapi pulang bawa ilmu, bukan bawa budaya,” katanya.
Ia juga mempersilakan warga NU untuk menempuh pendidikan di Amerika dan Eropa. Tetapi ketika pulang ke Indonesia haruslah membawa teknologi, bukan budayanya. Kiai Said secara tegas mengajak agar Nahdliyin mampu mempertahankan, mengunggulkan, dan menghormati kebudayaan Indonesia.
“Silakan cari ilmu ke mana saja, tetapi kita budaya Indonesia,” pungkasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan