Jakarta, NU Online
Ustadzah Imaz Fatimatuz Zahro atau yang kerap disapa Ning Imaz dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur mengungkapkan sikap-sikap yang harus di ambil saat suami sedang marah. Ia mengibaratkan istri harus menjadi air saat ada api.
“Jika ada api maka harus ada yang menjadi air. Ketika mendapati suami yang emosi karena ulah istri sendiri atau faktor eksternal yang mengganggu pikirannya, maka seorang istri harus berusaha bagaimana caranya suami bisa lebih tenang,” tuturnya dalam tayangan Youtube NU Online, Sabtu (19/11/2022).
Menurut Ning Imaz, adanya sepasang suami dan istri adalah untuk saling menenangkan, di samping saling membahagiakan. Kebahagiaan itu seperti emosi yang bisa datang dan pergi, sama halnya dengan marah. Namun ketenangan adalah sesuatu yang lebih dibutuhkan dan realistis karena itu dapat diupayakan.
“Ketika suami marah, kita harus menjadi penenangnya, jadi sebagai istri harus mengalah dulu dan tidak reaktif. Kita harus berusaha mengerti alasan mengapa suami marah. Ketika kita berusaha memahaminya maka kita juga akan berusaha bersikap yang relevan dalam menghadapi kemarahannya,” imbuhnya.
Ia menuturkan bagi orang yang marahnya karena karakter tempramen yang sedikit-sedikit marah, maka istri harus berupaya lebih kuat lagi karena mengatasi karakter tidak lah mudah. Jika hal tersebut dapat dibicarakan, maka akan sangat baik dengan saling mengkritisi diri sendiri.
“Dari komunikasi ada kesediaan untuk berusaha menjadi lebih baik, memahami keluhan satu sama lain dan mencari solusi agar rumah tangga menjadi lebih harmonis. Seorang istri harus dapat menenangkan suami, tidak banyak menuntut, dan tidak terlalu menaruh ekspektasi yang tinggi," jelasnya.
"Kadang perempuan merasa bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan, sehingga istri merasa tidak berdaya dan menganggap suaminya adalah superior akhirnya akan banyak menuntut segala sesuatu. Padahal hal tersebut tidak dibenarkan dan perlu dibatasi. Ekspektasi itu salah satunya dengan tidak membandingkan dengan kehidupan orang lain,” imbuhnya..
Dalam kesempatan yang sama, sang suami yang juga Pengasuh Pesantren Manba’ul Hikmah Kaliwungu Kendal, Gus Rifqil Suyuthi menuturkan bahwa perlu ada kesepakatan agar suami dan istri mengetahui batasan-batasannya dan tidak terjadi kesalah pahaman.
“Ketika menghadapi istri yang marah maka suami jangan sampai reaktif. Seorang laki-laki harus memaklumi perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Seorang wanita dilahirkan di dunia diperlakukan seperti putri oleh orang tuanya. Tentunya ketika ia dipersunting oleh seorang laki-laki ingin diperlakukan sebagai ratu dari suaminya,” tuturnya.
Gus Rifqil menegaskan bahwa arrijalu qawwamuna ‘ala annisa bukan berarti laki-laki lebih kuat, tapi laki-laki harus bisa memenuhi semua kebutuhan istri. Penting untuk saling memaklumi dan kompromi membangun komunikasi yang baik agar tidak terjadi kesalah pahaman.
Kontributor: Afina Izzati
Editor: Muhammad Faizin