Jakarta, NU Online
Masyarakat Muslim, tak terkecuali di Indonesia menjadikan Idul Fitri sebagai momentum silaturahim kepada saudara, kerabat, sahabat, dan temannya. Banyak persiapan dilakukan agar bisa menghidupkan suasana lebaran dengan maksimal. Tak heran jika masyarakat menyambut hari kemenangan itu dengan gegap gempita.
Mulai dari hidangan hingga penampilan, semuanya terasa begitu matang dipersiapkan untuk merayakan Idul Fitri. Soal penampilan di hari raya, tak jarang orang membeli sejumlah barang baru untuk digunakan tepat di tanggal 1 Syawal itu. Selain itu, tak sedikit orang juga unjuk kebolehan dengan menampilkan aset pribadi maupun kemujuran dalam karier. Lantas, selain silaturahim, apakah benar momentum lebaran juga dijadikan ajang flexing?
Menanggapi hal tersebut, Ketua Program Studi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia) Jakarta Elmy Bonafita Zahro, mengatakan silaturahim lebaran memang kerap kali dibumbui dengan flexing. Flexing adalah tindakan memamerkan kekayaan maupun menunjukkan kemampuan.
Baca Juga
Tiga Kandungan Makna Idul Fitri
Dari aspek tampilan fisik, Elmy menilai pada saat Idul Fitri sejatinya seseorang dianjurkan untuk mengenakan yang terbaik. Kendati demikian, makna “terbaik” seolah bergeser menjadi sesuatu yang baru, bagus, dan mahal.
“Bahkan juga orang sengaja memakai seluruh perhiasan yang dimiliki saat silaturahim bersama keluarga,” kata Elmy saat dihubungi NU Online, Rabu (11/5/2022).
Menurutnya, fenomena sosial tersebut tentu tidak sehat. Pasalnya, flexing dilakukan atas dasar ingin diakui dan dipandang hebat. Ia juga beranggapan, flexing saat lebaran dapat menodai kesakralan dari momen lebaran itu sendiri.
Baca Juga
Makna Idul Fitri dan Sebuah Kemenangan
“Namun, di sisi lain flexing saat lebaran sudah menjadi kebiasaan karena adanya konstruksi sosial dari masyarakat sendiri,” beber Elmy.
Kenapa Orang Flexing?
Elmy menjelaskan, flexing akan dilakukan seseorang ketika orang tersebut memiliki kecenderungan untuk memamerkan diri dan segala kepemilikannya. Sikap ini menunjukkan bahwa orang tersebut punya kebutuhan untuk diakui, dihormati, dan diperhatikan orang lain. Ia meyakini, sikap flexing yang dilakukan disebabkan dari trauma masa lalu.
“Bisa jadi, dia dulunya serba kekurangan dan kurang dihargai (inferiority) sehingga bentuk flexing yang dilakukan karena dia ingin menunjukkan bahwa dia sudah tumbuh dan berkembang lebih baik,” ungkap Elmy.
Kendati demikian, hal ini tetap saja tidak bisa dibenarkan. Elmy menegaskan, flexing yang dilakukan secara berlebihan menunjukan bahwa seseorang memiliki kecenderungan narsistik.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Syamsul Arifin