Siswi MTs N Jembrana Teliti Moderasi Beragama di Madrasah, Ada Guru Non-Muslimnya
Jumat, 14 Oktober 2022 | 08:00 WIB
Dania Wardatus Shofiya dan Revalina Eka Pratiwi mengenalkan, siswi Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs N) 3 Jembrana menggambarkan harmonisme masyarakat Bali dalam tulisan ilmiah berjudul Potret Moderasi Beragama dalam Fenomena Guru Non-Islam di Madrasah Bali. (Foto: istimewa)
Jakarta, NU Online
Indonesia merupakan negara yang sangat beragam. Sebanyak 270 juta penduduk Indonesia memiliki latar belakang yang sangat berbeda, mulai dari suku, bahasa, hingga agama. Meskipun berbeda, bangsa Indonesia tetap menjaga persatuan di tengah keragamannya.
Hal itu pula yang ditunjukkan warga Jembrana, Bali. Di madrasah-madrasah yang terdapat di kabupaten tersebut, ada beberapa guru yang berlatar belakang non-Muslim. Meskipun madrasah merupakan institusi pendidikan yang berbasiskan agama Islam, sivitas akademika dan masyarakat di dalamnya tidak memiliki pertentangan sama sekali.
Adalah Dania Wardatus Shofiya dan Revalina Eka Pratiwi yang mengenalkan hal tersebut melalui karya ilmiahnya yang dibawa ke ajang Madrasah Young Researchers Super Camp (Myres) Tahun 2022. Dua siswi Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs N) 3 Jembrana itu berhasil menggambarkan harmonisme masyarakat di sana dalam sebuah tulisan ilmiah berjudul Potret Moderasi Beragama dalam Fenomena Guru Non-Islam di Madrasah Bali.
"Warga madrasah menerima dengan baik guru non-Islam di sana dan juga mau melebur dengan warga madrasah," jelas Dania kepada NU Online pada Selasa (11/10/2022).
Masyarakat, meliputi orang tua atau wali siswa menerima hal tersebut sejak awal. Tidak ada pertentangan. Hal tersebut menunjukkan, bahwa moderasi beragama di Jembrana sangat baik.
"Hasil penelitian menunjukkan bahwa warga madrasah yang memiliki guru non-Islam di Kabupaten Jembrana tidak hanya memahami moderasi beragama sesuai konsep atau definisinya saja, tetapi juga diimplementasikan dalam kehidupan sosial di madrasah," lanjutnya.
Dania juga menjelaskan, bahwa para guru non-Islam maupun guru yang Muslim mau membaur satu sama lain. Bahkan, mereka sudah merasa bersaudara. "Mereka menganggap semua di madrasah saudara mereka," katanya.
Sementara itu, Revalina menjelaskan bahwa warga madrasah juga tidak masalah mempermasalahkan guru perempuan non-Islam untuk memakai kerudung. Bahkan, mereka juga tidak dilarang memakai atribut keagamaannya. Ia mencontohkan, bahwa ada guru yang mengenakan gelang tridatu, gelang yang terdiri dari tiga warna yang bagi mereka berfungsi sebagai penangkal bala atau jimat. "Madrasah tidak melarangnya," katanya.
Lebih dari itu, ketika semua siswa dan guru lainnya melaksanakan shalat zuhur, mereka juga melakukan sembahyang di jam yang tidak jauh berbeda.
Pada mulanya, penelitian itu dilatarbelakangi keberadaan guru non-Islam di madrasah yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Padahal, keberadaan mereka tidak melanggar peraturan yang ada dan dapat menjadi manifestasi dari moderasi beragama.
Guru-guru tersebut mengajar untuk mata pelajaran olahraga dan bahasa Bali. Mereka tersebar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN).
Keduanya berharap, bahwa praktik moderasi beragama yang ada di madrasah itu bisa diterapkan di tempat lain. "Kita harus menerima yang berbeda. Harus saling bertoleransi di antara umat beragama sesama bangsa. Insyaallah tidak ada masalah ke depan. Madrasah harus jadi contoh," pungkas Reva.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan