Soal Ekonomi Kerakyatan, Rais Aam PBNU Ingatkan Amanat Muktamar Ke-13 NU
Rabu, 26 Agustus 2020 | 10:15 WIB
Jakarta, NU Online
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar mengungkapkan bahwa persoalan ekonomi kerakyatan sudah menjadi bahasan para ulama NU sejak dulu. Yakni pada gelaran Muktamar ke-13 NU tahun 1935.
“Pada Muktamar itu diputuskan sebuah kesimpulan bahwa kendala utama yang menghambat umat melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan menegakkan agama adalah karena kemiskinan dan kelemahan di bidang ekonomi,” ungkapnya saat menjadi keynote speaker dalam diskusi virtual bertajuk Pemulihan Ekonomi Nasional dan Kebangkitan Ekonomi Rakyat, pada Rabu (26/8).
Muktamar ketika itu, lanjut Kiai Miftah, mengamanatkan PBNU untuk menggalakkan dan mengadakan gerakan kekuatan ekonomi warga atau ekonomi kerakyatan. Kemudian muktamar tersebut menyimpulkan pula bahwa kelemahan ekonomi bermula dari lemahnya sumber daya manusia.
“Setelah diadakan pengkajian atas putusan Muktamar ke-13 itu, maka disimpulkan ada beberapa prinsip ajaran Islam yang perlu ditanamkan kepada warga NU agar bermental kuat, sebagai modal perbaikan sosial ekonomi yang disebut Mabadi Khairu Ummah,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya, Jawa Timur ini.
Tak hanya itu, prinsip ini juga mengajak agar masyarakat Nahdliyin mampu bersaing di zaman yang kompetitif ini. Selanjutnya ada penambahan lima prinsip yang juga harus diperhatikan oleh warga NU.
“Pertama, ash-shidqu. Yaitu benar antara ucapan dan perilaku. Hal ini sangat dibutuhkan oleh pemimpin saat ini. Kedua, al-amanah wal wafa bil ahdi yang berarti sebuah kepercayaan dan kemampuan untuk memenuhi janji-janji yang telah disampaikan,” jelas Kiai Miftah.
Ketiga, al-‘adalah. Sebuah sikap adil yang senantiasa mampu menyampaikan kebenaran pada sesuatu yang benar dan menyampaikan kesalahan terhadap sesuatu yang memang salah. Artinya, jelas Kiai Miftah, mampu proporsional dalam meletakkan berbagai persoalan.
“Keempat, at-ta’awun yang artinya adalah gotong-royong. Kelima al-istiqamah, konsisten dalam tugas dan amanah,” katanya.
Kiai Miftah beranggapan bahwa jika kelima prinsip tersebut bisa menjadi pedoman dalam kehidupan, maka warga NU akan bisa bersaing di mana pun dan kapan pun. Terlebih diimplementasikan di era pandemi yang berdampak pada kemiskinan dan kelemahan ekonomi.
“Tapi tampaknya, mabadi khairu ummah ini sudah banyak sering dilupakan dan sering tidak disebut-sebut. Kita tidak sering mendengar sebutan-sebutan lima prinsip itu yang menjadi hasil muktamar ke-13 tahun 1935,” katanya.
Kiai Miftah kemudian mengutip Al-Qur’an, Surat Hud ayat 61 tentang seruan untuk memakmurkan bumi. Hal ini tentu dalam rangka memulihkan perekonomian masyarakat di tengah pandemi.
“Artinya, Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya. Jadi, Allah telah memberikan kita kemampuan, kemantapan, dan penguasaan untuk memakmurkan bumi ini karena kita yang adalah bani adam diciptakan oleh Allah dari bumi,” jelas Kiai Miftah.
Di samping itu, ada sebuah amanat besar dari Syekhona Kholil Bangkalan saat mengirim kurir untuk ke KHR As’ad Syamsul Arifin. Amanat itu mengisyarakatkan tiga lambang. Yaitu tongkat, surat Toha ayat 17-23, dan seutas tasbih. Inilah juga yang menjadi isyarat agar Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari bisa melahirkan sebuah organisasi.
“Kandungan dalam ayat itu (Toha 17-23) adalah soal amanat ekonomi kerakyatan karena ada kalimat, tongkatku ini akan kugunakan telekan dan akan kugunakan mengais rumput-rumput dan dedaunan untuk makanan binatang ternak,” jelas kiai kelahiran asli Surabaya ini.
Kiai Miftach menambahkan, bahwa persoalan ekonomi masih menjadi permasalahan yang belum bisa dituntaskan oleh NU. Sementara ini, NU sudah mulai bisa bersaing di dalam kesehatan dan pendidikan.
“Untuk ekonomi ini yang agak kedodoran. Tapi bukan berarti, kita tidak ada upaya. NU selalu mengupayakan agar Nahdliyin bisa berkembang perekonomiannya,” pungkas Kiai Miftah.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad