Nasional

Soal Kekerasan Seksual di Kampus, Universitas Perlu Bikin Aturan Pencegahan

Sabtu, 13 November 2021 | 04:30 WIB

Soal Kekerasan Seksual di Kampus, Universitas Perlu Bikin Aturan Pencegahan

Ilustrasi kekerasan seksual. (Foto: Pixabay)

Jakarta, NU Online

Divisi Advokasi dan Hukum Asosiasi Dosen Pergerakan, Muhtar Said menekankan seluruh perguruan tinggi (PT) untuk segera menyusun prosedur operasi standar (SOP) terkait pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungannya.


“Semua perguruan tinggi harus segara membuat SOP terkait itu,” tegas Muhtar Said kepada NU Online lewat sambungan telepon, Sabtu (13/11/2021).


Said mengatakan bahwa penting bagi universitas berinisiatif membuat aturan atau regulasi bagi korban pelecehan seksual di kampus dengan tujuan memberikan payung hukum secara nasional untuk penanggulangan kekerasan seksual. 


“Sifatnya tidak hanya mengartikulasikan secara jelas apa itu kekerasan seksual dan bentuk-bentuknya termasuk pelecehan, tapi kami juga membuat panduan pelaporan dan menekankan pada pendampingan korban,” kata Dosen Hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu.


Misalnya, kampus membuat suatu wadah terpadu sebagai crisis center khusus untuk kekerasan seksual dengan menekankan soal kerahasiaan. Ia berpendapat crisis center ini nantinya akan menjadi pusat yang sinergis. Mulai dari memberikan pendampingan psikologis dan hukum jika ingin melanjutkan, sampai ke pemberian edukasi dan mendata kasus kekerasan seksual di kampus.


“Itu diperlukan. Sebab seringkali korban takut melapor karena birokrasi tidak jelas dan juga masyarakat kita punya budaya menyalahkan korban sebagai pihak yang harus membuktikan diri tidak bersalah ketimbang mengejar pelaku,” jelasnya.


Setuju dengan Permendikbud No 30 Tahun 2021

Terlepas dari itu, Said merasakan adanya angin segar bagi para korban kekerasan seksual dengan ditandatanginya Permendikbud No 30 Tahun 2021 oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Anwar Makarim. Meskipun keberadaaanya masih menuai pro dan kontra di sejumlah kalangan masyarakat.


“Saya pribadi menilai kebijakan itu sebagai komitmen kemendikbudristek. Jadi, tidak ada alasan untuk menolak,” ungkapnya tegas.


Said justru merasa keheranan dengan adanya pihak yang kontra kan kebijakan tersebut. Baginya Permendikbud itu sudah jelas, yakni memberikan perlindungan dan juga mencegah adanya tindak kekerasan seksual di lembaga Pendidikan kampus.


“Itu sudah jelas definisinya di pasal 1 angka 12: ‘korban adalah mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang mengalami kekerasan seksual," terangnya.


“Jadi peraturan tersebut itu bentuknya pencegahan dan penindakan,” imbuhnya.


Senada, Inisiator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid dalam sebuah keterangan tertulis menilai aturan itu dikeluarkan sebagai komitmen Mendikbudristek memberantas salah satu dari tiga dosa besar di dunia pendidikan Indonesia, yaitu pelecehan seksual.


"Langkah tersebut merupakan wujud upaya hadirnya negara dalam menjamin keadilan bagi para korban kekerasan seksual di perguruan tinggi yang selama ini diabaikan. Asas keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual merupakan perwujudan dari nilai-nilai agama, Pancasila, dan konstitusi UUD 1945," kata Alissa.


Ia menilai banyak kasus kekerasan seksual di kampus selama ini tidak bisa diproses karena belum ada payung hukum yang melandasinya. Bahkan, para korban hingga para pelapor justru kerap mendapat tekanan dari kampus dan kehidupan sosial.


Lebih ironis lagi, Alissa mengatakan pihak kampus selama ini justru menjadi aktor kunci dalam melindungi pelaku kekerasan seksual.


"Kasus kekerasan seksual di kampus ibarat rahasia umum karena kerap terjadi di kampus-kampus Indonesia," ujarnya.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad


Terkait