Soal Subsidi BBM, Pengamat Migas dan Minerba Ungkap Masalah dan Solusinya
Selasa, 30 Agustus 2022 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Rencana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar menguat beberapa waktu terakhir. Kenaikan harga ini menjadi salah satu opsi mencegah bocornya subsidi BBM.
Soal subsidi BBM, Pengamat Migas dan Minerba M Kholid Syaerazi menilai BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar di SPBU hingga hari ini belum tepat sasaran. Hal itu membuat persoalan subsidi BBM semakin ruwet karena secara teoritis, subsidi atas barang identik dengan penyimpangan.
“Masalahnya ini yang bikin mumet. Bayangkan, produk yang sama punya dua harga. Ada solar subsidi, ada solar industri. Dari dua harga tersebut orang tentu akan memilih yang lebih murah,” kata Kholid kepada NU Online, Selasa (30/8/2022).
Alasannya, kata dia, baik elpiji subsidi 3 kg maupun yang dijual harga pasar memiliki kualitas sama. Kemudian BBM jenis pertalite yang diproduksi pertamina dilepas jauh di bawah harga produk sejenis yang dijual SPBU swasta. Sehingga secara rasional orang akan lebih memilih poduk yang lebih murah.
“Dalam teori pilihan rasional, orang akan lari ke produk yang lebih murah. Kalau ada yang murah, kenapa beli yang mahal. Konsekuensinya, subsidi tidak jatuh ke tangan mustahik (orang yang berhak),” katanya lagi.
Ia kemudian memaparkan hasil riset Badan Kebijakan Fiskal (BKF), yang melaporkan bahwa 60 persen masyarakat terkaya menikmati 79.3 persen BBM subsidi, sementara 40 persen masyarakat terbawah hanya 20.7 persen. Solar subsidi dinikmati 72 persen rumah tangga kelompok 6 teratas. Masyarakat dengan kelompok 4 ke bawah hanya 21 persen.
“Itu kan sudah sangat jelas tidak adil,” jelas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) itu.
“Bahkan, Studi Schuhbauer et al (2020) menyebut solar subsidi dinikmati 7 persen nelayan skala kecil dan selebihnya oleh sektor perikanan skala besar,” sambung dia.
Selanjutnya, survei Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebut 38.4 persen nelayan tidak memiliki surat rekomendasi untuk membeli solar subsidi; 36.2 persen tidak mengetahui ada BBM bersubsidi; dan 22.2 persen tidak ada penjual BBM bersubsidi di sekitar lokasi.
“Orang-orang kaya pakai elpiji tabung 3 Kg. Orang-orang punya mobil pakai pertalite dan biosolar. Pengusaha ikan tangkap, pemilik kapal-kapal besar, menadah solar subsidi ketimbang beli solar industri. Inilah masalahnya,” ungkap Kholid.
Untuk memastikan subsidi tepat sasaran, Kholid merekomendasikan pemerintah membenahi sistem subsidi. Langkahnya harus dimulai dengan reformasi Single Identity Number (SIN). SIN adalah big data yang memuat profil kependudukan lengkap, yang berisi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sekaligus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Di dalamnya, termuat pula identitas pribadi (nama, akta lahir, agama, pekerjaan, status pernikahan, dan keluarga), data biometrik (fingerprint, retina recorder, dan digital signature), nomor jamkes dan jamsos, dan nomor pelanggan listrik.
“Dengan big data kependudukan, pemerintah bisa langsung ke target penerima manfaat. Siapa saja yang boleh membeli BBM subsidi, membeli tabung elpiji 3 Kg, dan menerima tarif subsidi listrik terekam dengan baik dalam satu NIK,” jelas Kholid.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Aiz Luthfi