Soal Tapera, HPN Nilai Potongan Gaji 3 Persen Hambat Pemulihan Ekonomi hingga Potensi Penyelewangan Dana
Rabu, 29 Mei 2024 | 14:30 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN), Tyovan Ari Widagdo menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 terkait pengesahan beberapa ketentuan penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) perlu ditinjau ulang.
Tyovan menilai pemotongan gaji sebesar 2,5 persen yang dibebankan kepada pekerja dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat menghambat pemulihan ekonomi. Menurutnya, meskipun tujuan kebijakan ini mulia, yakni membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memiliki rumah, implementasinya justru berpotensi menimbulkan masalah baru dan memberatkan masyarakat.
"Hal ini sangat memberatkan, terutama bagi pekerja dengan gaji rendah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Potongan gaji ini akan mengurangi daya beli masyarakat dan menghambat pemulihan ekonomi," kata Tyovan kepada NU Online, Rabu (29/5/2024) siang.
Selain itu, Tyovan juga melihat dalam perubahan pada program yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (20/5/2024) itu masih belum disosialisasikan dengan merata. Hal itu dibuktikan dengan kebijakan Tapera terkesan dipaksakan tanpa sosialisasi yang memadai kepada masyarakat.
"Banyak pekerja yang belum memahami manfaat dan risiko dari program ini, sehingga merasa khawatir dan resah. Pemerintah seharusnya melakukan sosialisasi yang intensif dan transparan sebelum menerapkan kebijakan ini," katanya.
Yang lebih parah, Tyovan melihat dalam Tapera ini akan sama dengan program pengumpulan dana lainnya, yaitu potensi penyelewengan dana. Baginya, pengelolaan dana Tapera yang besar rawan terhadap penyelewengan dan korupsi.
"Pemerintah harus memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana ini, serta melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasannya," terangnya.
Selain itu, ia beralasan Tapera ini belum terbukti efektif. Tyovan menegaskan program sejenis Tapera, seperti Bapertarum-PNS, belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memiliki rumah.
"Banyak masalah yang muncul, seperti lambatnya pencairan dana, tingginya bunga pinjaman, dan kurangnya ketersediaan rumah yang layak. Pemerintah seharusnya mengevaluasi program-program sebelumnya sebelum meluncurkan Tapera," katanya.
"BPJS Ketenagakerjaan sendiri juga memiliki program pembiayaan perumahan. Kebijakan Tapera terkesan tumpang tindih dengan program-program yang sudah ada," terangnya.
Perlu diketahui bahwa pemberlakuan kebijakan Tapera berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2020 mengharuskan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya ke BP Tapera paling lambat tujuh tahun setelah PP berlaku. Dengan demikian, kebijakan Tapera akan berlaku paling lambat tahun 2027.