Nasional

Sosiolog UGM Soroti Lemahnya Peran Komdigi saat Banyak Rakyat Ekonomi Rentan Terjerat Judol

Kamis, 30 Oktober 2025 | 16:00 WIB

Sosiolog UGM Soroti Lemahnya Peran Komdigi saat Banyak Rakyat Ekonomi Rentan Terjerat Judol

Ilustrasi judol. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Umum mengungkapkan bahwa jumlah korban judi online (Judol) yang menghinggapi rakyat dengan keadaan ekonomi rentan.


Secara demografi, korban dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 88,1 persen atau 1.899 orang dan perempuan 11,9 persen atau 257 orang per September 2025. Korban judol itu juga bervariasi, dari anak-anak, buruh, petani, hingga tunawisma.


Menanggapi hal itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Andreas Budi Widyanta menyoroti lemahnya peran Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) karena belum melakukan hal mendasar, salah satunya meningkatkan kesadaran kompetensi digital rakyat.


Menurutnya, program literasi digital yang dicanangkan pemerintah belum efektif dalam menyentuh substansi permasalahan yang terjadi. Ia menekankan, penting untuk memiliki pemikiran kritis dan kompetensi digital dalam menelaah cara kerja teknologi.


“Tidak cukup hanya literasi digital, kita butuh kompetensi digital yang disertai pemikiran sosial kritis. Selama Komdigi tidak serius memberikan proteksi dan penegakan hukum, masyarakat akan terus menjadi korban eksploitasi digital. Negara tidak boleh berdiam diri,” tegas Abe dari laman resmi UGM, dikutip NU Online pada Kamis (30/10/2025).


Ia menekankan pentingnya peran aktif negara dalam menegakkan hukum, menghentikan praktik korporasi digital, serta membangun kesadaran kritis di ruang digital.


Menurutnya, penanganan masalah ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor, terutama melibatkan generasi muda dan agensi kreatif, untuk mengampanyekan bahaya judi online kepada publik.


“Indonesia punya banyak agensi dan generasi muda yang pintar. Mereka seharusnya dilibatkan untuk memberikan pendidikan digital dan kampanye penyadaran yang persisten,” jelasnya.


Lebih lanjut, Abe menjelaskan bahwa sistem judi online bekerja dengan algoritma gamifikasi yang dengan sengaja dirancang untuk menciptakan sensasi kemenangan sesaat. Pola ini memunculkan rasa euforia semu sehingga pengguna terdorong untuk terus bermain tanpa sadar bahwa seluruh aktivitasnya berada dalam kendali sistem digital.


Ia menilai, masyarakat kini hidup dalam pengawasan yang secara halus mengatur perilaku konsumsi melalui fitur-fitur digital.


“Kita tidur dengan musuh yang setiap waktu kita diawasi, dikontrol, dan terus-menerus distimulasi oleh berbagai keinginan untuk konsumsi,” ungkapnya.


Sementara itu, Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) M Faiz Maulana juga menjelaskan dampak sosial yang ditimbulkan dari judi online.


“Secara umum ini berdampak pada satu, kesehatan mental, lalu juga perilaku antisosial, dan kriminal. Artinya, terlibatnya anak dalam judi online meningkatkan risiko mereka terlibat dalam perilaku antisosial dan kriminal, seperti pencurian untuk membiayai kebiasaan berjudi,” jelasnya.


Bahkan menurut Psikolog Unusia Winda Maharani menerangkan bahwa keacanduan judol sudah termasuk dalam gangguan psikologis. Bahkan ia menilai, kecanduan judol sulit dihentikan.


“Sebenarnya kecanduan atau adiksi judi sendiri sudah menjadi gangguan psikologis, karena sudah masuk dalam DSM-V TR. Ditambah lagi dengan medianya yang online, perilaku judi ini menjadi sangat luas persebarannya, dari anak kecil hingga dewasa bisa mengaksesnya,” terang Winda.