Staf Khusus Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo, saat memberikan sambutan pada acara "Halalbihalal dalam Bingkai Moderasi Beragama" di Kabupaten Rembang, Sabtu (14/5/2022).
Rembang, NU Online
Staf Khusus Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Publik, Wibowo Prasetyo, mengapresiasi lestarinya tradisi halal bihalal di Indonesia. Wibowo menilai, halal bihalal dapat mengeratkan kohesi sosial dan memperkuat moderasi.
"Halal bihalal adalah tradisi yang memperkuat moderasi. Pemahaman keagamaan yang moderat terus berkembang di Indonesia antara lain buah dari tradisi ini," ujar Mas Bowo, sapaan akrabnya, saat memberikan sambutan pada acara "Halalbihalal dalam Bingkai Moderasi Beragama" di Kabupaten Rembang, Sabtu (14/5/2022).
Halal bihalal yang digelar Kemenag Kabupaten Rembang ini dihadiri Wakil Bupati Rembang Mochamad Hanies Cholil Barro’, Kepala Kemenag M Fatah beserta jajaran, para penyuluh agama dan Kepala serta penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) se Kabupaten Rembang.
Menurut Wibowo, ada empat indikator penguatan moderasi beragama, yaitu anti-kekerasan, komitmen kebangsaan, toleransi, dan ramah tradisi.
"Halal bihalal adalah salah satu tradisi khas Indonesia yang harus diuri-uri, dilestarikan. Halal bihalal ini adalah wajah kita, Indonesia yang toleran, saling menghormati kepada sesama pemeluk agama. Nggak ada sekat dalam halal bihalal, semua pemeluk agama saling maaf memaafkan tanpa melihat status atau agama seseorang. Makanya lebaran juga untuk semua (masyarakat)," tandasnya.
Dia menjelaskan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, halal bihalal diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, yang biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang”. Berhalalbihalal artinya bermaaf-maafan pada saat lebaran.
Wibowo menjelaskan, meski halal bihalal khas Indonesia namun berasal dari bahasa Arab yang tidak lazim dipakai penutur bahas Arab. "Secara historis, istilah halal bihalal dimunculkan muassis jami'iyyah NU, KH Wahab Chasbullah, sebagai pengganti kata silaturahim yang dianggap biasa, untuk mengatasi konflik antara tokoh politik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno," jelasnya.
Konteks ini, sebutnya, semakin menekankan substansi moderasi beragama dalam halal bihalal, baik dalam aspek komitmen kebangsaan, anti-kekerasan, maupun toleransi.
"Bahwa potensi konflik perlu dikelola dengan baik agar tidak melunturkan komitmen kebangsaan, tidak berujung pada tindak kekerasan, dan justru bisa diubah menjadi energi positif untuk terus merajut toleransi," tegas Wibowo.
"Pendiri bangsa kita menemukan salah satu caranya yang kemudian mentradisi sebagai halalbihalal," lanjutnya.
Dijelaskan, ada keterkaitan yang erat antara kata halal bihalal dengan esensi silaturahim. Kata ‘halal’ berasal dari kata ‘halla’ atau ‘halala’, mempunyai makna yang berkisar pada “menyelesaikan kesulitan”, “mencairkan yang beku”, “melepaskan yang membelenggu”.
Melalui halal bihalal, kata dia, di saat lebaran ini diharapkan terjadi perubahan suasana dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Dari beku menjadi cair, dari sulit menjadi mudah, dan dari terikat menjadi terlepas. Makna ini bisa dicapai, di antaranya, dengan cara saling maaf-memaafkan.
"Halal bihalal sangat relevan menjadi momentum penguatan moderasi beragama yang menjadi salah satu program prioritas Gus Menteri Agama, Gus Yaqut Cholil Qoumas. Halal bihalal menjadi momentum merajut persaudaraan sekaligus menjadi modal dalam menyongsong tahun politik yang sudah mulai terasa hiruk pikuknya di tengah keragaman Indonesia," pesannya.
"Perbedaan adalah sunnatullah dan tidak bisa ditolak. Namun, seberapa pun perbedaan yang ada, hal itu tidak boleh berujung pada tindak kekerasan, intoleransi, apalagi sampai menghilangkan komitmen kebangsaan. Menjadi tugas kita bersama untuk terus menguatkan moderasi beragama," tandasnya.
Editor: Zunus Muhammad