Suciwati Ingatkan Bahaya Kembalinya Rezim Otoriter: Hari Ini seperti ketika Soeharto Berkuasa
Rabu, 10 September 2025 | 22:30 WIB
Istri almarhum Munir, Suciwati, saat menyampaikan orasi dalam Aksi Ibu Berduka, Bergerak Lawan Tirani, yang digelar Aliansi Ibu Indonesia, di Selasar Planetarium, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu (10/9/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Istri almarhum pejuang HAM Munir Said Thalib, Suciwati, menyerukan perlawanan terhadap praktik impunitas yang terus mengakar dalam tubuh kekuasaan. Ia lantas mengingatkan tentang bahaya kembalinya rezim otoriter.
Hal itu diungkapkan Suciwati saat menyampaikan orasi dalam Aksi Damai Ibu Berduka Ibu bergerak Lawan Tirani di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
“Hari ini kita lagi-lagi diberikan ruang yang gelap di ruang demokrasi, rasanya negeri ini tidak cukup membunuh, menculik dan terus-menerus menyakiti rakyat, kita harus tolak impunitas, kita harus terus bersama-sama melawan, jangan diam, lawan,” kata Suciwati.
Ia menyebut nama-nama para pejuang rakyat yang gugur seperti Munir, Wiji Thukul, Marsinah, hingga Salim Kancil, sebagai bukti bahwa pengorbanan mereka belum pernah dibayar dengan pertanggungjawaban negara.
“Rasanya negeri ini tidak cukup membunuh, menculik, dan menyakiti rakyat. Hari ini kita seperti kembali 32 tahun lalu, ketika Soeharto berkuasa. Apakah ada orang yang bertanggung jawab? Tidak ada,” ujarnya.
Suciwati juga mengingatkan masyarakat sipil agar tidak terjebak provokasi yang memecah belah secara horizontal melalui isu ras, suku, atau identitas lain.
Menurutnya, musuh sesungguhnya adalah rezim yang zalim, penindas, dan terus melanggengkan korupsi, serta menyalahgunakan kekuasaan.
“Rekam jejak itu penting. Kita sering dikhianati oleh mereka yang mengaku aktivis, padahal pengkhianat. Karena itu kita harus saling memperkuat dan tidak memutus tali solidaritas,” katanya.
Selain itu, Suciwati menegaskan bahwa penguasa abai terhadap Aksi Kamisan yang telah berlangsung selama 18 tahun sebagai simbol perlawanan damai.
“Aksi ini terus menunjuk langsung kepada istana yang buta, tuli, dan tidak punya hati. Mereka adalah pejabat yang mengalami degradasi moral, tidak punya malu dan tidak bertanggung jawab,” tutur Suciwati.
Aksi yang dilakukan Aliansi Ibu Indonesia ini bermula dari aksi mahasiswa yang kerap diikuti para ibu dengan memberikan dukungan logistik karena memiliki keresahan yang sama, meskipun mereka tidak memiliki saluran langsung untuk menyuarakannya.