Survei INFID dan Gusdurian: Pemahaman Islam yang Tak Tuntas jadi Motif Terorisme
Selasa, 23 Maret 2021 | 15:00 WIB
Survei ini memperlihatkan ada perkembangan yang semakin positif. Baik di isu kekerasan berbasis agama maupun di isu intoleransi
Jakarta, NU Online
Hasil survei International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Jaringan Gusdurian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (35,9 persen) menyatakan bahwa motif utama penyerangan terorisme adalah karena pemahaman keislaman yang tidak tuntas.
Berdasarkan hasil survei tersebut juga terdapat 13,5 persen responden menyatakan, motif terorisme karena frustrasi dengan kehidupan sosial. Sedangkan anggapan teroris bermotif untuk menegakkan syariat Islam sebanyak 10,2 persen dan mendirikan negara Islam (9,1 persen).
Ada pula persepsi bahwa motif utama terorisme karena terdesak secara ekonomi (7,6 persen). Sementara responden yang menyatakan bahwa terorisme merupakan bagian dari perjuangan melawan kelompok kafir hanya 6,8 persen.
“Kalau dalam isu kekerasan berbasis agama, persentasenya tinggi sekali. Mereka menolak kekerasan berbasis agama dengan pandangan yang negatif dan melihat itu bukan bagian dari implementasi ajaran agama, bahkan menganggap itu adalah karena kedangkalan pemahaman agama,” tutur Koordinator Peneliti Ahmad Zainul Hamdi.
Hasil survei yang dilakukan pada September-Desember 2020 ini berjudul Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Intoleransi dan Ekstremisme Kekerasan, dan diluncurkan pada Selasa (23/3).
Survei tersebut dilangsungkan di 30 kecamatan pada enam kota (Bandung, Solo, Yogyakarta, Makassar, Surabaya, dan Pontianak). Terdapat 1.200 responden yang berpartisipasi dalam survei ini dengan jumlah laki-laki dan perempuan yang berimbang.
Isu intoleransi
Saat pertanyaan dalam survei ini dialihkan dari isu kekerasan ke isu intoleransi, terdapat jarak yang sangat terlihat. Sebab tiba-tiba angka yang sangat tinggi tentang penolakan terhadap kekerasan menjadi turun ketika dihadapkan pada isu intoleransi.
“Jadi misal, sekalipun ketika kita tanyakan dalam pertanyaan normatif, apakah setuju dengan toleransi? Tingkat persetujuannya sangat tinggi tapi normatif. Tapi ketika kita masuk ke dalam kasus-kasus intoleransi dan pernyataan intoleransi, angka yang setuju dengan tidak setuju jaraknya rendah, tidak seperti jarak di isu kekerasan berbasis agama,” terang Inung, sapaan akrab Ahmad Zainul Hamdi.
Saat responden diberi pertanyaan apakah negara perlu melarang keberadaan Syiah dan Ahmadiyah, hampir 50 persen menjawab setuju. Menurut Inung, sebagaimana kecenderungan yang terdapat pada survei Infid 2016, selalu terdapat jarak yang menganga antara sikap tegas menolak kekerasan dengan sikap abu-abu saat masuk ke dalam isu intoleransi.
Inung menyampaikan, responden yang setuju dengan sikap toleransi sebesar 93 persen. Namun, persetujuan itu bersifat normatif sebagaimana orang yang diperhadapkan dengan pertanyaan baik dan buruk. “Orang seburuk apa pun, pasti akan memilih yang baik. Tapi ketika kita masuk dengan berbagai menjadi beberapa pernyataan, ini mulai problematik,” terang Inung.
Sebanyak 52 persen responden menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan bahwa sebagai umat Muslim sebaiknya tidak mengucapkan selamat pada pemeluk agama lain. Sementara yang setuju dengan pernyataan itu hanya 27,8 persen.
Kemudian, 55 persen responden tidak setuju terhadap pernyataan bahwa berteman dengan sesama muslim akan lebih memberikan barakah ketimbang berteman dengan non-Muslim. Sementara yang setuju 26,2 persen dan sangat setuju hanya 3,6 persen.
“Menurut saya, ada kecenderungan ada gap yang menganga antara sikap yang tegas terhadap kekerasan dan intoleran,” jelas Inung.
Pernyataan selanjutnya adalah tentang Ahmadiyah dan Syiah yang sebaiknya tidak tumbuh karena mengajarkan agama Islam secara sesat. Sebagian besar menjawab tidak setuju (43,3 persen). Namun yang setuju (38,8 persen) juga tidak kalah tingginya.
“Temuan ini secara umum, menunjukkan bahwa ada gap antara tidak setuju terhadap kekerasan dengan sikap intoleran. Sekalipun tidak setuju terhadap beberapa narasi intoleran tetapi menempati persentase tertinggi. Namun tingkat persetujuannya juga tergolong tinggi,” ucap Inung.
Di samping itu, sebagian besar responden (37,5 persen) menganggap bahwa orang di luar Islam adalah kafir. Sebanyak 34,6 persen responden pun setuju untuk tidak mengucapkan selamat hari raya kepada non-Muslim.
Sedangkan Muslim yang cenderung tidak mau berteman dengan non-Muslim sebanyak 29,7 persen. Lalu 37,9 persen responden menyatakan bahwa Islam sebagai agama mayoritas maka semua aspek kehidupan harus mengikuti Islam.
Responden yang setuju bahwa lebih utama menolong sesama Muslim sejumlah 28,5 persen. Kemudian, persetujuan terhadap pelarangan Syiah dan Ahmadiyah mencapai angka 42,5 persen.
Bagi Inung, temuan itu mengindikasikan sangat kuat bahwa anak-anak muda memiliki penolakan yang tegas terhadap aksi kekerasan bermotif agama tapi sangat rentan menjadi intoleran.
“Memang tetap ada kenaikan positif sikap anak muda terhadap toleransi. Misal, diskriminasi Syiah-Ahmadiyah mencapai angka 55,6 persen pada 2016, sementara 2020 itu turun menjadi 42,5 persen,” katanya.
“Jadi secara umum, menunjukkan bahwa survei ini memperlihatkan ada perkembangan yang semakin positif. Baik di isu kekerasan berbasis agama maupun di isu intoleransi,” pungkas Inung.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin