Nasional

Tak Hanya Tempat Suci, Masjid Juga Harus Jadi Pusat Solusi Problem Masyarakat

Rabu, 1 Oktober 2025 | 11:00 WIB

Tak Hanya Tempat Suci, Masjid Juga Harus Jadi Pusat Solusi Problem Masyarakat

Hasanuddin Ali dalam agenda FGD Kemasjidan bertema Masjid Berdaya dan Berdampak di Hotel Erian Jakarta, pada Rabu (1/10/2025). (Foto: NU Online/Aru)

Jakarta, NU Online

Founder Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, menegaskan bahwa masjid tidak boleh hanya diposisikan sebagai tempat ibadah ritual, melainkan juga sebagai pusat pertemuan masyarakat yang berdaya dan berdampak. 


"Mari jadikan masjid bukan hanya tempat suci, tetapi juga pusat solusi," kata Hasanuddin. 


Hal tersebut ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Kemasjidan bertema Masjid Berdaya dan Berdampak (MADADA) yang digelar di Hotel Erian, Jakarta, Rabu (1/10/2025).


“Masjid itu sebetulnya bisa berfungsi dalam banyak hal. Masjid bisa menjadi ajang pertemuan seluruh ekosistem di lingkungan masyarakat di sekitar masjid. Apakah itu soal ekonomi, apakah itu soal sosial, apakah itu soal pendidikan,” jelasnya.


Hasanuddin memaparkan konteks demografi dan tantangan umat Islam Indonesia. Ia mengungkapkan, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah masjid terbanyak di dunia. Namun, posisi Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar telah diambil alih oleh Pakistan akibat angka kelahiran yang menurun.


“Jumlah kelahiran kita itu dari waktu ke waktu semakin rendah, semakin turun. Karena idealnya, dua bayi lahir itu menggantikan 2 orang tua. Jakarta itu sama dengan yang terjadi di Jepang,” ungkapnya.


Menurut Hasanuddin, kondisi demografi tersebut perlu menjadi perhatian karena berdampak pada jumlah umat Islam di masa depan. Dalam konteks ini, masjid memiliki peran penting untuk memperkuat basis umat, baik dari segi spiritual, sosial, maupun pemberdayaan ekonomi.


Ia menyoroti pula praktik masjid yang dalam beberapa tahun terakhir kerap dijadikan sarana politik praktis.


"Dalam beberapa tahun terakhir, sampai isu politik juga masuk ke masjid. Jadi masjid dibangun sebagai alat untuk politik. Kalau politik dalam arti kenegaraan, politik dalam arti kebangsaan sih tidak masalah. Tidak menjadi soal, tapi politik praktis itu yang bermasalah,” tegasnya.


Hasanuddin menjelaskan, data Kementerian Agama mencatat jumlah masjid di Indonesia mencapai lebih dari 700 ribu unit dengan beragam kategori, mulai dari masjid negara, masjid nasional, masjid raya, hingga masjid jami. Menurutnya, jika data ini dimanfaatkan dengan baik, bisa menjadi modal besar untuk pemetaan sekaligus aktivasi masjid.


Hasanuddin juga menyinggung pengalamannya melihat dinamika pengelolaan masjid di perguruan tinggi maupun perusahaan. Ia mencontohkan, pernah terjadi pembatasan kelompok yang bisa beraktivitas di masjid kampus. Namun melalui pendekatan struktural, masjid akhirnya menjadi ruang inklusif bagi semua kelompok.


“Yang penting adalah semua kelompok, semua mandat diberi kesempatan untuk melakukan aktivitas di masjid,” ujarnya.


Ia menambahkan bahwa fragmentasi masjid juga kerap terlihat di kawasan perumahan maupun perusahaan. Hal ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam tata kelola dan fungsi masjid sebagai ruang kebersamaan umat.


Lebih lanjut, Hasanuddin memetakan empat tantangan besar yang dihadapi umat Islam Indonesia saat ini. 


Pertama, pendangkalan pemahaman agama akibat maraknya ustadz populer yang kurang mendalam pemahamannya. Kedua, isu intoleransi dan ekstremisme yang meskipun menurun, tetap perlu diwaspadai.


Ketiga, kesenjangan ekonomi dan turunnya kelas menengah yang mayoritas dari kalangan umat Islam. Keempat, disrupsi digital yang sangat memengaruhi pola keberagamaan generasi muda.


“Orang itu lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan handphone, terutama di anak-anak muda,” ujarnya menggambarkan dampak disrupsi digital.


Dalam menghadapi tantangan tersebut, ia menekankan bahwa masjid idealnya menjalankan lima fungsi utama yaitu ritual, ekonomi, pendidikan, seni-budaya, dan sosial. Fungsi-fungsi itu perlu dihidupkan agar masjid benar-benar menjadi pusat pemberdayaan umat.


“Masjid itu seharusnya menjadi titik temu berbagai aliran atau mazhab, itu bisa bertemu di masjid dan menjadi tempat untuk penguatan solidaritas sosial,” tegasnya.


Selain itu, ia mengingatkan pentingnya memahami ekosistem masjid, mulai dari peran takmir, kapasitas imam, dukungan otoritas dan lembaga, profil jamaah, hingga keterlibatan pemuda dan remaja. 


“Kalau kita mau melakukan pemberdayaan masjid maka pemahaman terhadap ekosistem masjid ini menjadi sangat-sangat penting,” ujarnya.


Hasanuddin kemudian menyebut, ada enam isu strategis yang harus dihadapi masjid dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang. 


Isu tersebut meliputi tata kelola dan kapasitas Badan Kemakmuran Masjid (BKM), masjid ramah dan inklusif, penguatan ekonomi melalui zakat dan wakaf produktif, moderasi beragama dan literasi digital, serta keterlibatan masjid dalam isu lingkungan dan perubahan iklim.


“Bagaimana masjid itu bisa menjadi pelopor lingkungan, isu-isu terkait iklim, dan lain-lain. Apakah masjid itu sekarang masih boros air misalkan, atau energi yang digunakan adalah energi yang sedang ramah lingkungan atau belum,” pungkasnya.