Tanggapan PBNU soal Pengembang Benih Padi Unggul di Aceh yang Diperkarakan
Selasa, 30 Juli 2019 | 13:15 WIB
“Mestinya ada tindakan persuasi yang lebih masuk akal dan menghargai Kedaulatan Sain Rakyat Tani (K-SRT) daripada kriminaliaasi yang mencoreng diri sendiri,” kata Wakil Ketua Umum PBNU H Mochammad Maksum Machfoedz melalui sambungan telepon, Selasa (30/7).
Menurut pria yang juga Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada ini, usaha K-SRT telah kesekian kalinya dikacaukan oleh peraturan dan administrasi yang ada.
Ia tidak menyangkal bahwa benih yang diperjualbelikan memang harus tersertifikasi karena bertujuan melindungi petani dari jebakan benih palsu dan jelek, serta dari praktik pasar yang sering terjadi, seperti obat, pupuk, dan benih palsu sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Namun, sambungnya, kalau produksi dan pengembangan benih itu untuk komunitasnya sendiri dan tidak bermaksud mengkomersialisasi, disebutnya tidak menjadi persoalan.
“Substansi dari pelarangan itu kan komersialisasi dan penipuan: Ini dua substansi yang harus di telaaah lebih lanjut: apakah ada unsur tersebut atau tidak dalam kasus Tengku Munirwan yang ilmuwan petani Ini misalnya,” ucapnya.
Ia juga menyatakan, anggota Bumades memiliki K-SRT untuk memilih yang baik untuk diri mereka. Kapasitas memilih kualitas ini ada pada komunitas tani.
“Kok bisa petani milih barang kelompok Bumades atau barang teman sendiri? Lah ini pasti kaitan dengan perihal quality, availability, dan accessibility. Jadi pemerintah yang seharusnya koreksi diri kenapa untuk ke sekian kalinya terjadi dan bukan membeli benih yang sudah disertifikasi pemerintah? Nah di mana salahnya? Jadi unsur komersialisasi dan pemalsuan ini menjadi tidak pas,” terangnya.
Ia menduga bahwa produksi benih di Bumades tidak tersertifikasi karena banyak alasan. Setidaknya karena ketidaktahuan tentang sertifikasi yang mekanismenya kompleks dan mamakan waktu panjang, sementara kebutuhan petani sangat mendesak.
Untuk menjawab persoalan itu, pemerintah harusnya lebih aktif sosialisasi dan memberi kemudahan sertifikasi dalam aneka kategori agar ke depannya tidak terjadi pembunuhan terhadap kreasi petani.
“Jangan pernah main-main dengan K-SRT: (produksi dan pengembangan bisnis oleh Bumades) Itu kritik tajam terhadap kelambatan dan ketidaktepatan pelayanan publik dari yang namanya pemerintah, yakni dalam hal: quality, availability, dan accessibility!” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Tengku Munirwan ditahan Polda Aceh setelah dilaporkan Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh terkait penyebaran bibit padi unggul IF8 hasil inovasinya kepada komunitas petani di wilayah Kabupaten Aceh Utara karena belum bersertifikasi.
Direktur Kualisi NGO HAM selaku pendamping hukum Tengku Munirwan, Zulfikar mengatakan, Tengku Munirwan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Dirkrimsus Polda Aceh sejak Selasa (23/7). Dia dijerat dengan Undang-undang No 12 Tahun 1992 juncto ayat 2 tentang sistem budidaya tanaman.
Namun, kasus hukum yang membelit Tengku Munirwan dengan cepat menimbulkan simpati warga. Apalagi Tengku Munirwan langsung ditahan pihak Polda Aceh sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 23 Juli 2019.
Sejumlah elemen masyarakat di Aceh berhasil mengumpulkan 2.000 lembar lebih kartu tanda penduduk (KTP) sebagai bagian dari dukungan terhadap Munirwan dan mendesak agar penahanan Munirwan ditangguhkan. Tuntutan ini pun kemudian dikabulkan Polda Aceh pada Jumat (26/7) karena alasan kemanusiaan. (Husni Sahal/Fathoni)