Tanggapan PBNU soal Tarik-Menarik Kewenangan Edar Farmasi dan Alkes
Rabu, 18 Desember 2019 | 08:30 WIB
Ketua PBNU KH Imam Aziz sedang meminta kejelasan tata kelola farmasi dan alat kesehatan. (Foto: NU Online/Jajang)
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Imam Aziz meminta kejelasan pengaturan yang diinginkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Alkes). Imam mengatakan kejelasan itu akan menentukan jalannya kajian perihal jaminan mutu serta ketersediaan obat dan alkes.
Demikian disampaikan KH Imam Aziz dalam forum Bahtsul Masail Qanuniyah PBNU yang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alkes di Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (17/12) siang.
Dalam forum yang diselenggarakan oleh Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) itu, Kiai Imam Aziz menyampaikan perihal peran pengawasan atas peredaran obat-obatan.
“Saya hanya mau bertanya, syarah dari RPP ini apa? Ini yang mau diatur bisnisnya atau pengawasannya? BPOM setahu saya mengawasi pre-market, dan pengawasan makanan dan obat-obatan yang sudah beredar terkait pemalsuan atau kedaluarsa. BPOM memastikan aman konsumsi,” kata Kiai Imam Aziz.
Ia menambahkan bahwa peran pengawasan Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan (BPOM) sangat penting. Ia menganjurkan agar peran ini perlu diperkuat dengan regulasi yang lebih tinggi.
“Ini ranah BPOM sangat penting. Sarmidi tadi mengatakan soal penguatan BPOM untuk dikuatkan melalui Perpres atau yang lebih tinggi,” kata Kiai Imam Aziz.
Ia mengatakan, kepentingan dalam RPP tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alkes belum begitu jelas. Sedangkan birokrasi yang terlalu panjang sudah seharusnya dipangkas.
“Yang diatur mau apanya? Bisnis atau pengawasannya. Bisnisnya selama ini sudah jalan. Saya kira ikuti saja hukum ekonomi. Nanti diatur kembali mana obat yang perlu disubsidi. Soal kehalalannya sudah melekat,” kata Imam.
Menurutnya, birokrasi dalam dunia farmasi dan alat kesehatan perlu ditinjau ulang. Kepentingan masyarakat atas ketersediaan obat yang bermutu mesti diprioritaskan.
“Sudah tidak perlu banyak birokrasi. Di sini izin, di sana izin. Yang penting sudah memenuhi unsur kesehatan. Tidak perlu lagi logo lembaga halal lainnya. Yang penting memenuhi unsur kesehatan. Harus dipisahkan bisnis dan pengawasan. Biarkan BPOM di ranah pengawasan. Kita perkuat sebagai rekomendasinya,” kata Imam.
Katib Syuriyah PBNU KH Miftah Faqih mengatakan bahwa BPOM merupakan badan. Ketika sudah bernama badan, maka ia harus berdiri mandiri.
“Aneh kalau dia menjadi subordinat dari lembaga lain. Relasi BPOM dan Kemenkes bukan atas dan bawah, tetapi kemitraan strategis. Usulan saya bukan RPP, tetapi RUU agar posisi keduanya menjadi kuat,” kata Kiai Miftah.
Ia juga menggarisbawahi perihal integritas kelembagaan. Ada sejumlah lembaga negara lemah secara integritas.
“Yang dibutuhkan integritas. Banyak lembaga negara berkampanye moral. Tapi dia bisa menjadi paling jahat. Adik saya direktur di sebuah rumah sakit. Dia kesulitan memegang prinsip yang dia yakini di kampus. Dia harus berhadapan dengan mafia alkes dan pemda. Kesalehan personal, kesalehan komunal, dan kesalehan institusional,” kata Kiai Miftah.
Kepala BPOM 2001-2006 Sampurno mengatakan bahwa sejak BPOM didirikan tarik menarik kewenangan edar farmasi sudah terjadi antara Kemenkes dan badan yang pernah dipimpinnya. Ia mengatakan bahwa kuncinya terletak pada komunikasi antara Menkes dan BPOM.
Menurutnya, diskusi terkait pengawasan farmasi bukan terletak pada soal siapa melakukan apa, tetapi siapa melakukan yang terbaik bagi publik. Ia menyatakan setuju dengan rencana memperkuat BPOM dengan kewenangannya sebagai organisasi independen untuk melindungi publik dan Kemenkes tidak kehilangan kontrol.
“Saya berharap tidak terjadi friksi lagi ke depan antara BPOM dan Kemenkes. Saya usul jalan tengah yang terbaik. Sering kali keributan di bawah bukan masalah substansial. Sebenarnya, bagaimana hubungan BPOM dan Menkes, bukan BPOM dan Kemenkes. Yang perlu dicarikan jalan adalah relasi yang tepat dan baik antara keduanya,” kata Sampurno.
Tampak hadir pada forum ini Wakil Ketua Umum PBNU H Mochammad Maksum Machfoedz, Bendahara Umum PBNU Bina Suhendra, Ketua PBNU KH Imam Aziz, Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin, Katib Syuriyah PBNU KH Miftah Faqih, anggota Komisi IX DPR RI Anggia Ermarini, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) 2001-2006 Sampurno, pengamat kebijakan publik Rian Nugroho, pengurus LBM PBNU, para kiai NU dari pelbagai daerah, Ikatan Apoteker Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan utusan Asosiasi Rumah Sakit Islam Nahdlatul Ulama (ARSINU).
Pewarta: Alhafiz Kurniawan