Tawaran Solusi dari Gus Yahya untuk Hidup Damai di Masa Depan
Selasa, 11 Juli 2023 | 21:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf memberikan tawaran sebuah solusi dalam mengatasi berbagai perbedaan di muka bumi ini dengan tujuan untuk hidup damai di masa depan.
Menurut Gus Yahya, perbedaan-perbedaan yang ada saat ini semakin banyak ragamnya. Dulu, misalnya, Islam yang masuk ke Nusantara ini hanya satu merek. Namun kini, muncul berbagai aliran dan ragam ajaran Islam di Indonesia.
Keberagaman yang semakin tajam dan banyak di tengah-tengah kehidupan manusia di dunia ini harus bisa diatasi dengan sebuah prinsip strategi. Gus Yahya pernah menawarkan solusi berupa sebuah prinsip strategi itu saat menghadiri Forum Internasional Kebebasan Beragama di Washington DC, beberapa waktu lalu.
"Sudah saya tawarkan bahwa prinsip dasar untuk membangun koeksistensi damai di antara kelompok-kelompok yang berbeda itu adalah pertama-tama kita perlu identifikasi dulu apa nilai-nilai bersama yang sudah kita pegangi bersama-sama," tutur Gus Yahya.
Dalam agenda Sosialisasi R20 Menuju Konferensi Dialog Antar-Budaya dan Antar-Agama Tingkat ASEAN atau ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) 2023, di Hotel Santika Premier Palembang, Senin (10/7/2023) kemarin Gus Yahya mengatakan pada kenyataannya, meski setiap manusia memiliki kelompok berbeda satu sama lain, tetapi pasti ada nilai yang sama.
Walaupun berbeda agama; Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha, tetapi Gus Yahya yakin di antara perbedaan itu ada nilai-nilai yang disetujui bersama. Misalnya nilai tentang kasih sayang, keadilan, dan ikatan keluarga yang sudah pasti disetujui oleh semua pihak sebagai sebuah nilai yang harus dipegang.
Baca Juga
Peran NU untuk Perdamaian Dunia
"Jadi kita identifikasi nilai-nilai yang memang sudah kita pegangi bersama. Itu kita pegangi sebagai titik tolak wawasan bahwa kita ini sebenarnya punya agenda bersama, wong nilainya sama kok," katanya.
Dengan kata lain, kata Gus Yahya, sekalipun setiap kelompok memiliki ciri yang berbeda-beda tetapi sesungguhnya mereka punya agenda yang sama berdasar nilai-nilai yang dipegangi bersama itu.
Langkah selanjutnya, Gus Yahya mengajak semua pihak untuk mengidentifikasi nilai-nilai lama untuk dikembangkan. Tujuannya agar umat manusia tidak lagi terdorong untuk berkonflik satu sama lain.
"Kalau perlu dengan merekontekstualisasi, mengadaptasikan, menyesuaikan, membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap nilai-nilai yang lama, yang tadinya mendorong konflik," ucap Gus Yahya.
Hubungan NU-Muhammadiyah
Suatu ketika, Gus Yahya berada di dalam satu forum dengan pimpinan Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia kemudian menjadikan hubungan NU dan Muhammadiyah sebagai contoh.
Zaman dulu, kata Gus Yahya, salah satu nilai di dalam lingkungan NU adalah tidak boleh besanan dengan orang Muhammadiyah, atau orang NU tidak boleh mencari jodoh dari kalangan Muhammadiyah.
"Orang NU punya menantu subuhan nggak qunut itu bencana besar, dulu itu. Demikian juga orang Muhammadiyah, sebaliknya," tutur Gus Yahya.
Tetapi lama-lama ada kesadaran bersama, antara NU dan Muhammadiyah, tentang kebutuhan membangun, memelihara, dan menjaga bangsa Indonesia secara bersama-sama, sehingga masing-masing bersedia mengoreksi.
"Ya sekarang orang sudah mau saling mengoreksi. Walaupun kadang-kadang lahir gagasan-gagasan berbeda yang baru. Tapi pada dasarnya ada kemauan, sudah ada nilai yang ditegakkan untuk saling bertoleransi satu sama lain," katanya.
Soal hisab dan rukyah
Hasilnya, NU dan Muhammadiyah saat ini berhasil membangun kehidupan berdampingan secara damai, sehingga bisa saling bertoleransi walaupun lahir perbedaan-perbedaan baru, seperti soal hisab-rukyah untuk penentuan bulan Hijriah.
"Ini salah satu ilustrasi bahwa dulunya Muhammadiyah itu yang mengusulkan sidang isbat. Dulu pada zaman orde baru, supaya ada sidang isbat di Kementerian Agama. Itu yang mengusulkan Muhammadiyah. Nah dulu prinsipnya masih sama, sama-sama rukyah atau kalau hisab ya imkanur rukyah itulah, itu istilah teknis sekali," jelasnya.
Tetapi kini Muhammadiyah membuat teori baru soal penentuan awal bulan hijriah sehingga menghasilkan elemen perbedaan yang baru. Meski begitu, dua ormas Islam terbesar di Indonesia itu bisa saling bertenggang rasa satu sama lain.
"Bahkan, kemarin ketika ada usulan untuk membuat hari libur Idul Adha untuk masing-masing tanggal yang diyakini, akhirnya bisa dibuat kompromi, ya sudah kita bikin cuti bersama, sehingga liburnya lebih lama, tiga hari. ini hal-hal yang sebetulnya merupakan ilustrasi dari kemauan dan kemungkinan," ucap Gus Yahya.
Artinya, sikap toleran terhadap perbedaan itu bisa dilakukan untuk membuat penyesuaian-penyesuaian di dalam nilai-nilai supaya bisa hidup berdampingan secara damai.
"Kalau kita mampu masing-masing membuat penyesuaian, kita bisa damai," pungkas Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.