Jakarta, NU Online
Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan temuan hasil penyelidikan terkait peristiwa kekerasan yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah beberapa waktu lalu. Dalam temuan tersebut Komnas HAM menemukan adanya tindakan kekerasan dalam penangkapan warga Wadas oleh aparat kepolisian.
"Pada 8 Februari 2022 saat dilakukan upaya pengukuran lahan pada bidang warga yang telah setuju untuk dibebaskan sebagai lokasi penambangan quarry terjadi penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) oleh aparat kepolisian Polda Jawa Tengah," ungkap Komnas HAM dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/8/2022).
Sementara berdasarkan keterangan Polda Jawa Tengah, jumlah aparat yang diturunkan berjumlah kurang lebih dari 250 orang personel yang terdiri dari 200 orang personel berseragam dan 50 orang personel berpakaian sipil/preman. Sementara berdasarkan keterangan dari pendamping jumlah aparat yang diturunkan ribuan personel.
Merespons terjadinya peristiwa tersebut, Komnas HAM RI membentuk Tim Pemantauan dan Penyelidikan untuk melakukan investigasi atas kasus tersebut, sesuai dengan mandat Komnas HAM Pasal 89 ayat (3), Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Berikut hasil temuan Komnas HAM RI:
Pertama, pada 8 Februari 2022 saat dilakukan pengukuran tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo dan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO) yang dibantu oleh Aparat Kepolisian Gabungan Polda Jawa Tengah (selanjutnya disebut Tim Pengukuran Lahan).
"Pengukuran sendiri dilakukan pada bidang lahan yang telah disetujui oleh pemiliknya untuk dijadikan lokasi penambangan quarry batuan andesit guna pembangunan Bendungan Bener. Pengukuran juga mendapatkan bantuan pengamanan dari pihak kepolisian," tulis Komnas HAM.
Hal itu mendasari pengalaman sebelumnya, yaitu pengukuran pada 14-15 Juli 2021 warga mengalami hambatan dari pihak yang menolak penambangan quarry.
“Pada saat Tim Pengukuran Lahan menuju lokasi bidang di saat yang bersamaan sejumlah warga yang menolak penambangan quarry tengah menggelar mujahadah di lingkungan Masjid Nurul Huda Dusun Krajan, Desa Wadas,” kata Komnas HAM.
Dengan mempertimbangkan eskalasi potensi kerawanan, pihak Kepolisian kemudian berupaya memisahkan warga yang mendukung dan menolak penambangan quarry di Desa Wadas untuk mencegah terjadinya bentrokan, dengan cara membuat pagar betis di depan Masjid Nurul Huda.
Bukti kekerasan aparat
Dari sejumlah keterangan saksi dan video yang diperoleh Komnas HAM RI, ditemukan adanya tindakan kekerasan pada saat penangkapan oleh aparat kepolisian pada Selasa, (8/2/2022) terhadap warga Wadas yang menolak quarry.
Akibat dari tindakan kekerasan tersebut, sejumlah warga mengalami luka pada bagian kening, lutut dan betis kaki, dan sakit pada beberapa bagian tubuh lainnya. Namun tidak ada korban yang dirawat di rumah sakit.
“Dari identifikasi pelaku, tindakan kekerasan tersebut mayoritas dilakukan oleh petugas berbaju sipil/preman pada saat proses penangkapan,” tutur Komnas HAM.
Kemudian, berdasarkan temuan Komnas HAM RI terdapat 67 orang warga yang ditangkap dan dibawa ke Polres Purworejo pada 8 Februari 2022, dan baru dikembalikan ke rumah pada 9 Februari 2022.
Warga alami trauma
Komnas HAM RI juga menemukan beberapa warga mengalami ketakutan pasca-peristiwa tanggal 8 Februari 2022 tersebut, hingga sampai Sabtu dan Ahad (4-5 hari) setelah peristiwa itu tidak berani pulang ke rumah. Selain itu, ditemukan potensial traumatik, khususnya bagi perempuan dan anak.
Komnas HAM RI juga mendapatkan fakta terdapat penyitaan sejumlah barang milik warga, di antaranya sepeda motor dan handphone.
“Pada 21 Februari 2022 barang milik warga seperti 2 (dua) unit sepeda motor telah dikembalikan kepada pemiliknya, sementara 4 (empat) unit handphone sampai saat ini masih dalam proses pencarian dan pengembalian kepada pemiliknya oleh Polres Purworejo,” terang Komnas HAM.
Namun demikian, Komnas HAM menjelaskan bahwa tidak menemukan tembakan senjata api dan atau informasi lainnya terkait penggunaan senjata. Namun, Komnas HAM RI menemukan fakta adanya keterbatasan akses informasi karena lemahnya sinyal atau jaringan komunikasi.
Berdasar kronologi tersebut, Komnas HAM RI memperoleh komitmen dari Kapolda Jawa Tengah dan jajarannya untuk melakukan evaluasi, pemeriksaan dan pemberian sanksi kepada anggota yang telah melakukan kekerasan dan pelanggaran terhadap SOP.
“Dalam relasi sosial kehidupan masyarakat Wadas, terdapat kelompok yang mendukung dan menolak yang saat ini kondisinya renggang, tidak terlibat dalam acara bersama (keagamaan dan acara sosial), untuk perempuan dan anak-anak mengalami perundungan. Bahkan beberapa di antaranya berproses hukum di Polres Purworejo,” kata Komnas HAM.
Komnas HAM mengungkapkan bahwa tidak hanya warga yang menolak quarry khawatir soal dampak yang ditimbulkan dari adanya penambangan quarry, Warga Wadas yang mendukung quarry juga mengalami situasi ketidakpastian karena tidak ada kejelasan waktu kapan selesainya pengukuran dan penerimaan pembayaran ganti untung atas tanah mereka.
Kronologi sebelum peristiwa kekerasan
Dalam kronologi tersebut Komnas HAM mengungkapkan bahwa sebelum peristiwa kekerasan tanggal 8 Februari 2022 terdapat pengabaian hak FPIC (Free and Prior Informed Consent) bahwa masyarakat memiliki hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka atas setiap proyek quarry batuan andesit, yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian, dan lingkungan mereka.
“Minimnya sosialiasi informasi akurat dari Pemerintah dan Pemrakarsa pembangunan Bendungan Bener tentang rencana proyek, dampak dan tidak adanya partisipasi menyeluruh masyarakat menjadi pemicu ketegangan antar warga maupun warga dengan pemerintah,” jelas Komnas HAM.
Akibatnya, kondisi saat ini masyarakat Wadas kini mengalami kerenggangan dalam relasi sosial, mereka terbagi atas 2 kelompok yakni warga yang mendukung penambangan quarry dan sebaliknya warga menolak penambangan quarry.
Pada 8 Februari 2022 benar terjadi tindakan penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) oleh Polda Jawa Tengah yang ditandai dengan pengerahan personil dalam jumlah besar dan adanya tindakan kekerasan dalam proses penangkapan. Adanya pengabaian hak perlindungan integritas personel warga negara dalam upaya mempertahankan lingkungan dan kehidupannya.
“Sikap penolakan warga atas penambangan quarry harusnya tetap dihargai dan tidak disikapi aparat Kepolisian secara berlebihan,” ujarnya.
Lebih dari itu, Komnas HAM menilai adanya pelanggaran atas hak memperoleh keadilan dan hak atas rasa aman masyarakat terhadap sejumlah warga yang menolak, terjadi tindakan penangkapan disertai kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian dalam tugas pengamanan pengukuran tanah pada 8 Februari 2022 di Wadas.
Adanya pengabaian hak anak untuk diperlakukan berbeda dengan orang dewasa saat berhadapan dengan proses hukum (penangkapan) dan jaminan masa depan untuk tidak terlibat menyaksikan dan mengalami tindakan excessive aparat Kepolisian.
Tidak hanya itu, masih terdapat pengabaian atau tidak dipenuhinya hak warga yang ditangkap oleh Kepolisian. Dampak peristiwa pada 8 Februari 2022 di Desa Wadas, masyarakat mengalami luka fisik dan traumatik, khususnya perempuan dan anak-anak yang menjadi pihak paling rentan.
Oleh karena itu, Warga Wadas baik yang menolak maupun mendukung penambangan quarry meminta Komnas HAM RI dapat berperan untuk mengupayakan dialog dengan pembuat kebijakan, dan bertindak adil dalam mencari solusi bersama termasuk berimbang dalam mengeluarkan pernyataan (statement) ke publik.
Rekomendasi Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada Gubernur Jawa Tengah, Kapolda Jateng, Menteri PUPR, Dirjen Sumber Daya Air Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak terkait penanganan Wadas.
Rekomendasi tersebut disampaikan Komnas HAM merujuk hasil pemantauan dan penyelidikan guna melakukan investigasi atas kasus tersebut, sesuai dengan mandat Komnas HAM Pasal 89 ayat (3), Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pertama, Komnas HAM meminta kepada semua pihak, termasuk Gubernur Jawa Tengah dan Kapolda Jawa Tengah untuk menjamin peristiwa yang sama pada tanggal 8 Februari 2022 tidak terulang kembali kedepannya.
Komnas HAM juga berharap Gubernur Jawa Tengah; Pertama, terus melakukan evaluasi secara serius dan menyeluruh pendekatan yang dilakukan dalam penyelesaian permasalahan di Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.
Kedua, memastikan adanya perlindungan bagi warga terdampak pembangunan Bendungan Bener dan menghindari penggunaan cara-cara penggusuran, pengusiran, dan pendekatan keamanan dalam penyelesaian masalah di Wadas.
Ketiga, mengupayakan pemulihan (trauma healing) terhadap masyarakat korban kekerasan, korban trauma kekerasan, dan korban perundungan. Keempat, menyiapkan upaya yang menjamin kelangsungan masa depan anak-anak warga Wadas, jika nantinya ada solusi yang diterima oleh semua pihak.
Kelima, menyiapkan informasi lingkungan yang lengkap tentang dampak lingkungan sebagai bahan dialog terutama untuk menjawab persoalan sosial dan lingkungan di Desa Wadas.
Keenam, memastikan partisipasi atau keterlibatan warga Desa Wadas (baik secara substansial maupun esensial dengan memperhatikan prinsip-prinsip HAM.
“Salah satunya prinsip FPIC (Free and Prior Informed Consent) dan membangun ruang dialog dalam rangka penanganan dan/atau penyelesaian dampak Pembangunan Bendungan Bener, termasuk di Desa Wadas,” terang Komnas HAM.
Selain itu, Komnas HAM berharap, pertama, Kapolda Jawa Tengah, terus melakukan evaluasi, pemeriksaan dan sanksi kepada semua petugas yang terbukti melakukan kekerasan terhadap warga dan pelanggaran SOP.
Kedua, melakukan evaluasi terhadap langkah-langkah yang diambil termasuk melakukan pencegahan supaya peristiwa yang sama tidak terulang kembali dan menghindari penggunaan kekuatan berlebih (excessive use of force).
Ketiga, memastikan berlangsungnya upaya pemulihan seluruh warga Wadas dengan mengedepankan Babinkamtibmas dan Binmas Kepolisian setempat dengan berbagai program dan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Komnas HAM berharap kepada Menteri PUPR, Dirjen Sumber Daya Air dalam hal ini Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO), pertama, agar dalam mengambil langkah harus memperhitungkan dinamika dan realitas sosial masyarakat, dan memastikan bahwa prinsip hak asasi manusia menjadi dasar pengambilan keputusan.
Kedua, melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam rangka evaluasi dan/atau merumuskan solusi, konsep, perencanaan, penyusunan program, tata kelola dan strategi penyelesaian atas dampak pembangunan Bendungan Bener dengan berbagai pendekatan, tidak sekedar mempertimbangkan aspek ekologis tapi juga aspek sosial-ekonomi masyarakat.
Ketiga, memastikan partisipasi atau keterlibatan warga (baik secara substansial maupun esensial dengan memperhatikan prinsip-prinsip HAM, salah satunya prinsip FPIC (Free and Prior Informed Consent) dan membangun ruang dialog dalam rangka penanganan dan/atau penyelesaian dampak Pembangunan Bendungan Bener, termasuk di Desa Wadas.
Keempat, dalam membangun Bendungan Bener senantiasa mengedepankan akuntabilitas dan menghormati HAM, menghindari perlakuan yang melanggar HAM, memastikan patuh atas penyelesaian yang adil dan layak, dan menyediakan akses pemulihan atas tindakan yang melanggar HAM.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Ahmad