Tenggang Rasa Antarumat Beragama di Kaki Gunung Anjasmoro, Berbeda Agama Sejak di Bangku Sekolah
Kamis, 3 November 2022 | 11:30 WIB
Salah satu pemandangan pura di Kecamatan Wonosalam, Jombang, Jawa Timur. (Foto: dok. Pariwisata Wonosalam)
Terletak di kaki Gunung Anjasmoro, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur menjadi salah satu tempat yang banyak dikunjungi wisatawan untuk menikmati pemandangan indah dan asri ketika singgah di Kabupaten Jombang. Selain karena pesona alamnya, Wonosalam juga patut dijadikan rujukan bertenggang rasa antarumat beragama karena kemajemukannya perihal agama yang dianut warganya.
Kecamatan Wonosalam terletak 35 km sebelah tenggara Kabupaten Jombang. Tidak sedikit dari mereka yang hidup berdampingan tanpa membeda-bedakan agama yang dianut. Masyarakat Wonosalam terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan Kejawen. Begitupun dengan rumah ibadah, terdapat masjid, gereja, pura, dan vihara.
Selain masjid dan gereja, di Kecamatan Wonosalam juga terdapat pura, di antaranya Pura Giri Wijaya, Pura Tribuana, Pura Pacaringan, Pura Puja Nirwana, Pura Guna Dharma, dan Pura Giri Anjasmoro. Serta Vihara Giri Vana Arama yang berada di Dusun Ampel Gading, Desa Wonosalam.
Seperti potret kerukunan beragama di Dusun Tukum, Desa Wonosalam. Di sana tidak hanya terdapat masjid atau mushala saja. Melainkan di dusun tersebut kokoh berdiri sebuah GKJW Wonosalam yang menegaskan keberagaman di Dusun Tukum. Jika masih dalam lingkup satu dusun, tentu jarak antara Masjid dan Gereja tidaklah terlalu jauh.
Seperti yang diungkapkan Susanti, warga Dusun Tukum ini menjelaskan bahwa di kampung halamannya itu tidak pernah membeda-bedakan seseorang karena agama. Menurut ceritanya apabila ada tetangga yang mempunyai hajatan, mereka saling membantu dan tidak memandang agama.
"Kalau biasanya yang punya hajat orang Kristen, yang menyembelih ayamnya itu menyuruh orang Islam, biar dimakan bareng-bareng," jelas Susanti.
Begitu juga ketika perayaan keagamaan seperti Hari Raya Idul Fitri dan Hari Natal, warga di dusun tersebut saling berkunjung untuk saling menghormati. "Kalau ada kenduren, semuanya diundang," imbuh Susanti.
Menurut dia, perbedaan adalah warna yang justru dapat memberikan keindahan di Wonosalam. Selain terkenal dengan keberagaman agamanya, masyarakat Wonosalam juga memegang erat warisan budaya nenek moyang yaitu melestarikan Tari Remo Boletan, yaitu Tari tradisional dari Jombang.
GKJW Wonosalam di Dusun Tukum. (Foto: NU Online/Rifatuz Zuhro)
Berbeda agama sejak di bangku sekolah
Susanti adalah salah guru agama di SDN V Wonosalam. Di tempatnya mengajar ini, ia menjelaskan potret keberagaman di tempat kelahirannya itu juga terlihat di lingkungan sekolah. Siswa-siswinya tidak hanya beragama Islam, namun juga terdapat siswa-siswi yang beragama Kristen, dan Hindu. Dari 93 siswa di sekolahnya, terdapat 16 siswa beragama Kristen dan 1 siswa beragama Hindu.
Artinya, moderasi beragama yang diterapkan warga Desa Wonosalam ini sudah terbentuk sejak bangku sekolah. Mereka bermain bersama sejak usia sekolah dasar. Siswa-siswi tersebut bersosialisasi dan belajar menghormati antar teman yang berbeda agama. Begitupun, ketika di sekolah terdapat perayaan Grebek Syuro, yang non-muslim juga mengikuti dengan riang hati.
Di sekolah yang terletak di Dusun Pucangrejo, Desa Wonosalam, Kecamatan Wonosalam ini, ketika telah masuk ranah keagamaan masing-masing, guru membimbing siswa-siswi sesuai dengan agama yang dianutnya. Anak-anak muslim melaksanakan Shalat Dhuha, membaca doa-doa harian. Anak-anak Kristen ada pembiasaan kerohanian, dan yang Hindu juga mempelajari tentang keagamaannya.
"Jadi kalau ada tugas untuk murid Hindu, kita minta guru dari Desa Galengdowo, Di Galengdowo ada Puranya dan beberapa yg Hindu," jelas mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini.
Chila Florent Natasya, siswa kelas VI yang beragama Islam ini mengaku senang memiliki banyak teman yang berbeda agama. Ia mengungkapkan dengan perbedaan tersebut dapat mempererat pertemanan mereka. "Rasanya senang punya teman beda agama, bisa mempererat persatuan dan persaudaraan," ungkapnya.
Teman-temannya ialah Stanley Orrty Matahelumual, I Made Sindu Wiradinata dan Shalom Natisa br Sebayang yang beragama Kristen maupun Hindu.
Ritual keagamaan membentuk sikap tenggang rasa
Disebutkan dalam penelitian yang lain, pada desa lain di Kecamatan Wonosalam, yaitu Desa Jarak yang tidak jauh dari Desa Wonosalam, yang dilakukan oleh M Sya'roni Hasan dalam penelitiannya yang berjudul Internalisasi Nilai Toleransi Beragama di Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, mengungkapkan bahwa pendidikan keagamaan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam proses Internalisasi nilai toleransi.
Pada tahap transinternalisasi di desa Jarak, tulisnya yaitu dengan cara mengamalkan kegiatan agama sesuai kepercayaan masing-masing. Seperti Agama Islam, mengikuti pengajian rutinan ibu/bapak yang diadakan setiap bulan sekali yang diikuti oleh seluruh umat Islam di desa Jarak, dzikir bersama.
Untuk agama Hindu, Anjangsana yaitu pertemuan yang diadakan dari rumah ke rumah, ada namanya legenan (kegiatan pendidikan agama setiap Jumat legi untuk ibu-ibu dan bapak-bapak), Pasraman (kegiatan pendidikan agama setingkat siswa sampai remaja) yang dilakukan pada hari sabtu dan minggu, dan pecalang (yakni pembinaan tim keamanan pemuda Hindu).
Umat Kristen terdapat sekolah minggu di gereja, pertemuan jama'ah kerohanian setiap kamis yaitu ibadah dari rumah ke rumah secara bergantian, kegiatan bersama satu bulan sekali.
Gerbang selamat datang Wonosalam. (Foto: NU Online/Rifatuz Zuhro)
Berbagai upaya kegiatan keagamaan berbasis kemasyarakatan tersebut bertujuan membentuk kerukunan umat beragama yang meliputi keimanan, ketakwaan pada Tuhan, dan akhlak sesama manusia.
"Misalnya, gotong royong antar umat bergama, tidak menganggu ketika agama lain melaksanakan ibadah, dan yang sangat penting mengajarkan tetap berkeyakinan pada agama masing-masing," jelas hasil penelitian tahun 2018 tersebut.
Keberagaman merupakan sunnatullah yang tidak dapat dirubah. Kedewasaan dalam beragama sangat diperlukan untuk membentuk kerukunan dalam berbangsa dan bernegara. Seperti kerukunan beragama yang telah terjalin lama di Kaki Gunung Anjasmoro ini sudah selaiknya dipelihara bersama-sama.
Cepatnya laju digitalisasi tidak dapat dihindari oleh generasi alpha (generasi abad 21) kelak, namun dengan tetap menjaga kearifan lokal akan sangat membantu generasi saat ini dan seterusnya untuk tidak kehilangan arah dalam meramu keharmonisan antar umat beragama. Termasuk warisan intelektual nenek moyang kita adalah bertoleransi dan bertenggang rasa antar umat beragama.
Apa yang diupayakan saat ini adalah tidak lain untuk membangun peradaban kemanusiaan yang tidak gagap dalam melihat perbedaan, serta tidak bersumbu pendek dalam menelan informasi yang bertebaran di media sosial. Apalagi, isu agama gemar dijadikan bola liar oleh oknum yang tidak bertanggungjawab hanya untuk keuntungan kelompok dan golongan sendiri.
Penulis: Rifatuz Zuhro
Editor: Fathoni Ahmad
==================
Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI