Seseorang harus mampu menyisihkan minimal 10 persen dari penghasilan untuk menabung dan berinvestasi.
Jakarta, NU Online
Terdapat banyak masalah keuangan yang kerap dialami seseorang ketika hendak melakukan perencanaan keuangan keluarga. Di antaranya masalah timbul saat sudah lama bekerja tetapi tabungan selalu nol atau tidak pernah ada. Sebab semua uang habis untuk membiayai hidup sehari-hari.
Masalah lain karena memiliki banyak cicilan setiap bulannya. Lalu ada juga seseorang yang harus menguras tabungan untuk keperluan mendadak, seperti membiayai keluarga yang sakit atau keperluan biaya anak masuk sekolah.
Tak ketinggalan, gaya hidup juga menjadi masalah bagi perencanaan keuangan keluarga. Ini merupakan masalah yang paling berbahaya meskipun sebenarnya sangat memungkinkan untuk bisa dihentikan.
Problem-problem keuangan tersebut disampaikan oleh Pelatih Keuangan (Financial Trainer) Ligwina Hananto saat menyampaikan materi ‘Perencanaan Keuangan Keluarga dalam Islam’, pada agenda Peringatan Isra’ Mi’raj yang digelar Pimpinan Pusat (PP) Fatayat NU secara daring, Rabu (2/3/2022).
Pendiri Quamma Foundation ini lantas memberikan tips untuk melakukan perencanaan keuangan secara baik. Ia menamainya dengan rumus 1-2-3-4. Rumus ini perlu dilakukan dengan cara membagi penghasilan atau pengeluaran setiap bulan dan dibagi menjadi empat kategori besar.
Pertama, kata Ligwina, seseorang harus mampu menyisihkan minimal 10 persen dari penghasilan untuk menabung dan berinvestasi. Kedua, perlu ada pengeluaran untuk kebutuhan tersier seperti jalan-jalan, life style, dan rekreasi, tetapi tidak lebih dari 20 persen.
“Ketiga, 30 persen adalah maksimal kemampuan kita mencicil. Artinya kalau mau utang itu hati-hati. Keempat, pengeluaran untuk biaya hidup yang rutin termasuk pengeluaran sosial (zakat dan sedekah) itu 40 persen,” kata Ligwina.
“Dengan begitu, kita jadi bisa tahu pengaturan keuangan kita. Baik itu kalau punya penghasilan sendiri maupun ketika dapat penghasilan dari suami,” imbuhnya dalam webinar yang dihadiri secara daring oleh seluruh kader Fatayat NU se-Indonesia itu.
Perencanaan Keuangan dalam Islam
Ligwina juga menjelaskan soal perencanaan keuangan dalam Islam yang mesti diperhatikan. Pertama, terkait manajemen arus kas. Prinsipnya, harus mengedepankan hal-hal yang sesuai dengan ajaran agama.
“Ternyata, kalau kita mengurusi manajemen keuangan adalah bayar utang. Karena utang itu sampai kita di liang kubur pun masih ditagih. Ketika kita mengatur keuangan kita, nomor satu yang harus kita bayar adalah utang,” terangnya.
Kedua, skala prioritas tujuan finansial. Menurut Ligwina, ketika seseorang hendak menabung atau investasi maka harus ada tujuannya. Skala prioritas ini mesti dilakukan untuk memilih satu di antara dua pilihan.
“(Misalnya) tujuan liburan sama tujuan haji, tentu saja prioritasnya lebih tinggi tujuan haji. Tujuan haji sama tujuan menyekolahkan anak, ternyata lebih tinggi menyekolahkan anak. Jadi bicara soal skala prioritas ini tidak hanya bisa sebelah saja,” kata dia.
Ketiga, hukum waris. Terkait hukum waris, menurut Ligwina, harus dihitung secara matang sesuai dengan ajaran Islam.
“Jadi di dalam Islam, diajarkan untuk berhitung. Ada aturan waris. Tidak mungkin kita menyepelekan ilmu keuangan ini dengan bilang di dalam Islam tidak perlu berhitung. Justru ilmu dunianya digunakan supaya akhiratnya juga selamat,” kata Ligwina.
Keempat, produk keuangan syariah. Ligwina menjelaskan bahwa banyak orang yang khawatir terhadap produk-produk finansial yang digunakan tidak sesuai dengan syariah. Namun ia mengingatkan, ada lembaga yang otoritatif bertugas menentukan hukum sebuah produk. Lembaga itu adalah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
“Kita juga tidak perlu khawatir soal asuransi yang dinilai haram. Di dalam Islam yang disebut tabarru’ yaitu iuran ramai-ramai kalau ada yang sakit, nanti uang itu dipakai kita ikhlaskan untuk orang lain. Konsep inilah yang dipakai di asuransi syariah,” terang Ligwina.
“Empat inilah sebenarnya konsep yang mendasari Islamic Financial Planning. Kita mesti belajar berhitung,” tandas Ligwina.
Peringatan Isra’ Mi’raj Pimpinan Pusat Fatayat NU ini dihadiri oleh A’wan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Nyai Hj Faizah Ali Sibromalisi. Pada kesempatan itu, Nyai Faizah menjelaskan tentang sejarah Isra’ Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad, lalu diambil hikmahnya dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Sementara Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Erma Rini menegaskan soal pentingnya menjaga ketahanan keluarga dan kemandirian ekonomi. Hal ini perlu diupayakan bukan hanya untuk diri pribadi tetapi berguna bagi masyarakat sekitar.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad