Jakarta, NU Online
Sekretaris Jendral (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Ahmad Helmy Faishal Zaini menjelaskan, budaya saling memaafkan sangatlah indah dan luar biasa. Di Indonesia, budaya saling memaafkan terus ditanamkan setiap waktu terlebih di momentum Hari Raya Idul Fitri.
"Makna idul fitri ialah kembali ke fitrah, maka setelah sebulan penuh melaksanakan puasa Ramadhan dan kemudian menunaikan zakat, Insyaallah ibadah tersebut dapat melebur dan menghapus segala dosa baik yang besar maupun kecilnya," katanya dalam Halal Bihalal virtual yang digelar oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Malaysia, Ahad (30/5) malam.
Dalam tradisi Nusantara, Idul Fitri sendiri diwarnai dengan tradisi luhur yakni berupa lebaran ketupat. Mengapa ketupat? Karena sejatinya ketupat ini berasal dari kata kupat yang bermakna mengaku bersalah.
"Maka bagi kita masyarakat Nusantara, kupat atau mengaku lepat (salah) dan khilaf dengan cara meminta maaf dan kita juga memaafkan permaafan yang lainnya. Ini adalah suatu tradisi yang indah sekali," ungkap H Helmy Faishal.
Sementara Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid pada kesempatan yang sama mengungkapkan bahwa tradisi Halal Bihalal yang ada di Indonesia ini selaras dengan sebuah hadits Nabi yang menyatakan jika seseorang pernah menyakiti saudaranya, berbuat dzalim karena suatu sebab, maka diperintahkan segera mencari permintaan maaf darinya.
"Karena jika sudah di akhirat nanti, mau dirham sebesar apapun, dinar semahal apapun, tidak akan bisa membeli maaf dari saudara kita," jelasnya.
Halal bihalal sendiri ungkapnya sudah dimulai sejak jaman Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyowo. Di mana hal itu biasa dilakukan sebagai penanda pisowanan atau sowan di Kesultanan Mangku Negara.
"Kegiatan ini dihadiri oleh para abdi dalem, masyarakat, dan lainnya. Yang kemudian mencoba untuk saling bersilaturahim, maaf-memaafkan, lalu jadilah tradisi Halal Bihalal yang ada di Nusantara," jelasnya.
Dalam konteks Indonesia modern lanjutnya, ada sebuah peristiwa penting yang kemudian membuat Halal Bihalal menjadi tradisi yang terus dilakukan. Pada tahun 1958 yakni pada masa transisi kemerdekaan, banyak terjadi perdebatan di antara para elit-elit politik di Indonesia pada waktu itu.
"Jadi pada waktu itu, Bung Karno pusing, lalu kemudian ia berinisiatif untuk mengumpulkan para tokoh. Setelah konsultasi dengan Kiai Wahab Chasbullah, salah satu tokoh penting di NU. Dan kemudian Mbah Wahab menyarankan untuk membingkainya dalam silaturahmi," tuturnya.
Kiai Wahab mengusulkan untuk mengadakan silaturahim setelah lebaran dalam konteks mencari momen untuk saling memaafkan satu sama lain dan mencetuskan istilah Halal Bihalal.
"Jadi dalam sejarah Indonesia kurang lebih begitu. Karena ada keinginan untuk menyatukan elit politik yang pada waktu itu bersengketa, dan tidak bisa cocok satu sama lain. Maka diadakan tradisi halal bihalal yang hingga kini terus berlanjut," ungkapnya.
Kontributor: Disisi Saidi Fatah
Editor: Muhammad Faizin