Tradisi Mapak Tuyo di Pringsewu, Perekat Masyarakat Lintas Agama dan Suku
Rabu, 19 Oktober 2022 | 21:15 WIB
Mapak Tuyo, tradisi masyarakat di Pringsewu yang dilakukan secara turun temurun tanpa memandang agama dan suku. (Foto: dok. NU Online/Faizin)
Seiring dengan datangnya musim penghujan dan persiapan musim tanam padi, ada sebuah tradisi yang unik dilakukan masyarakat Kabupaten Pringsewu, Lampung. Tradisi ini bernama ‘Mapak Tuyo’, sebuah tradisi masyarakat di Pringsewu yang dilakukan secara turun temurun tanpa memandang agama dan suku. Pasalnya, tradisi yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘Menjemput Air’ ini dilakukan oleh umat Islam dan juga umat Hindu di Bumi Jejama Secancacan Bersenyum Manis ini.
Tradisi Mapak Tuyo diawali dengan arak-arakan hasil bumi yang didesain dan dikemas dengan cantik menjadi hiasan sebuah gunungan. Nyaris seperti gunungan pada Tradisi Sekaten di Yogyakarta.
Gunungan ini berisi berbagai hasil tanaman petani pringsewu seperti padi, jagung, ubi, sayur-sayuran seperti terong, kacang, wortel dan sejenisnya. Gunungan ini kemudian dilarung di sungai selain beberapa hewan peliharaan seperti bebek dan burung merpati.
Gunungan ini dibawa dengan kendaraan menuju tempat acara ‘Mapak Tuyo’ yang berada dibantaran sungai Way Sekampung. Sungai ini adalah sungai terbesar yang membelah Kabupaten Pringsewu dan mengalir menyusuri beberapa kecamatan seperti Pagelaran, Sukoharjo, dan Gadingrejo. Di sungai ini pula sekarang sudah dibangun bendungan yang sangat besar dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2021 bernama Bendungan Way Sekampung.
Di sungai inilah acara Mapak Tuyo yang berisi doa bersama digelar. Masyarakat juga sudah menyiapkan tumpeng yang sangat beragam untuk dinikmati bersama setelah kegiatan tersebut rampung. Masyarakat Kecamatan Pagelaran biasanya menggelar Mapak Tuyo di di Desa Way Ngison Pagelaran sementara masyarakat Gadingrejo menggelarnya di di Bendungan Way Gatel, Kecamatan Gadingrejo.
Dalam acara Mapak Tuyo tersebut juga digelar acara seremonial pembukaan dan berbagai kegiatan lainnya seperti seminar dan diskusi pertanian, hiburan kesenian tradisional seperti pagelaran wayang kulit, dan penanaman pohon.
Seminar tersebut menghadirkan nara sumber dari para ahli pertanian dan ahli lainnya yang terkait dengan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Di situlah dibahas berbagai permasalahan yang muncul terkait dengan keberlangsungan pertanian.
Setelah rangkaian seremonial dan kegiatan tambahan lainnya, dimulialah ritual doa yang dilakukan oleh Umat Islam dan Hindu. Di bantaran sungai, para pemuka agama memimpin doa dan diamini oleh umatnya. Untuk umat Islam diisi dengan tahlil dan doa oleh pemuka agama setempat. Setelah doa dilakukan prosesi Mapak Tuyo yang ditandai dengan pelepasan hewan peliharaan.
“Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah. Allahu akbar,” pekik pemuka agama Islam mengiringi pelepasan burung merpati dan bebek ke arah sungai.
Sementara umat hindu dibantaran lokasi lain melakukan ritual doa yang juga dipimpin oleh pemuka agamanya. Umat Hindu juga berkumpul dilokasi tersebut dan dengan khusyuk memanjatkan doa kepada Tuhan yang Maha Esa. Setelah itu dilakukan pelarungan sesaji di sungai menandai ritual Mapak Tuyo.
Bupati Pringsewu, H Sujadi yang pada ritual Mapak Tuyo tahun 2021 lalu hadir, mengapresiasi adanya tradisi Mapak Tuyo ini. Melalui kegiatan ini, semua elemen masyarakat diingatkan akan pentingnya menjaga air sebagai sumber kehidupan. Dengan kesadaran ini, ia berharap lingkungan, khususnya sumber air, akan tetap terjaga sehingga mampu memakmurkan bumi dan menyerap hasil bumi dengan sebaik-baiknya.
Dengan Mapak Tuyo, masyarakat juga akan lebih memiliki kepedulian terhadap siapapun yang berjuang untuk pertanian seperti para petani, baik petani pemilik sawah maupun buruh tani, termasuk juga petugas ili-ili (petugas pengatur pembagian air).
Bupati Pringsewu, H Sujadi yang pada ritual Mapak Tuyo tahun 2021 lalu. (Foto: dok. NU Online/Faizin)
Menurut Sujadi, keberadaan mereka sangat penting dalam kesuksesan Pringsewu menjaga stabilitas pangan. Terlebih Presiden Jokowi telah memberikan penghargaan kepada Pringsewu sebagai daerah Swasembada Pangan.
Dengan Mapak Tuyo dan keberadaan sumber air ini, inovasi pertanian di Pringsewu juga terus dilakukan di antaranya dengan mengembangkan pertanian sistem Minapadi. Sistem ini adalah cara bercocok tanam yang bukan hanya padi saja yang dipanen, namun juga palawija dan ikan di satu lokasi.
Keragaman agama, suku, dan budaya di Pringsewu
Kabupaten Pringsewu adalah sebuah daerah yang memiliki keragaman suku, agama, adat istiadat, dan budaya. Dari segi luas wilayah, Kabupaten Pringsewu saat ini merupakan kabupaten terkecil, sekaligus terpadat di Provinsi Lampung.
Kabupaten Pringsewu mempunyai luas wilayah 625 km2, berpenduduk 475.353 jiwa, terdiri dari 132 pekon (desa) dan 5 kelurahan, yang tersebar di 9 kecamatan, yaitu Kecamatan Pringsewu, Pagelaran, Pardasuka, Gadingrejo, Sukoharjo, Ambarawa, Adiluwih, Kecamatan Banyumas dan Pagelaran Utara.
Walau berada di Lampung, dari nama Pringsewu, yang dalam bahasa Jawa berarti Bambu Seribu, bisa diprediksi jika penduduknya mayoritas adalah suku Jawa. Memang benar, Pringsewu didominasi oleh penduduk suku Jawa yang merupakan keturunan transmigrasi dari Pulau Jawa.
Namun demikian hampir semua suku di Indonesia ada yang tinggal di Pringsewu. Termasuk masyarakat asli Lampung, yang terdiri dari masyarakat yang beradat Pepadun (Pubian) serta masyarakat beradat Saibatin (Pesisir).
Dari sisi agama juga, hampir semua agama resmi di Indonesia ada di Pringsewu dengan tempat ibadah yang saling berdekatan. Semua agama bisa hidup rukun di Pringsewu karena keberagaman budaya, suku bangsa dan agama telah menjadi akar kehidupan masyarakat Pringsewu sejak lama.
Para tokoh agamanya pun sering melakukan komunikasi dan koordinasi. Mereka memiliki momentum khusus untuk berkumpul melalui Ngopi Bareng yang diinisiasi oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Pringsewu. Selain Ngopi Bareng, umat beragama di Pringsewu juga sudah memiliki tempat khusus bagi lintas umat beragama untuk duduk bareng membahas kerukunan bernama Saung Kerukunan.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Pringsewu, KH Mahfudz Ali mengatakan bahwa kerukunan merupakan barang mahal. Oleh karena itu menurutnya, semua stakeholder khususnya Pemerintah harus memberikan perhatian khusus agar kerukunan tetap terjaga.
Ia menambahkan bahwa semua sektor kehidupan bisa berjalan dengan normal termasuk pembangunan, jika suasana di daerah rukun dan damai. Sebaliknya, semua akan terkendala bahkan tidak bisa berjalan jika kerukunan hilang dan berganti dengan perpecahan dan konflik.
Dan Tradisi Mapak Tuyo menurutnya menjadi satu bukti kerukunan yang perlu dipertahankan melalui prinsip akomodatif dengan tradisi. Ini menurutnya menjadi indikator umat beragama yang moderat selain memiliki komitmen kebangsaan, bersikap toleran, dan anti pada kekerasan. Dengan kerukunan dalam tradisi Mapak Tuyo ini, pembangunan terbukti bisa berjalan dengan baik dan mampu memberi kemaslahatan bagi semua.
Penulis: Muhammad Faizin
Editor: Fathoni Ahmad
====================
Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI