Transisi Penghapusan Honorer Dinilai Krusial, DPR Minta Pemerintah Jadikan Ini Revolusi Kesejahteraan Guru
Rabu, 26 November 2025 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menekankan bahwa penghapusan status guru honorer pada akhir 2025 tidak boleh menghasilkan ketidakpastian baru bagi para pendidik.
Ia menilai momentum ini harus menjadi tonggak perbaikan besar-besaran terhadap kesejahteraan guru, terlebih di tengah peringatan Hari Guru Nasional.
Hetifah meminta pemerintah menghadirkan kebijakan yang benar-benar melindungi masa depan para pengajar.
“Pada Hari Guru Nasional ini, pemerintah harus menunjukkan penghormatan nyata kepada guru: pastikan masa depan mereka terjamin. Reformasi kepegawaian harus menjadi revolusi kesejahteraan guru, bukan beban baru,” tutur Hetifah dalam keterangan yang diterima NU Online Rabu (26/11/2025).
Hetifah menilai penghapusan honorer bukan sekadar penyesuaian birokrasi, melainkan kesempatan untuk memperbaiki ketidakadilan yang menahun.
Menurutnya, para guru yang sudah bertahun-tahun mengajar semestinya mendapatkan prioritas dalam proses transisi, baik melalui mekanisme PPPK maupun seleksi yang bersifat inklusif dan non-diskriminatif.
“Tidak boleh lagi pengabdian belasan tahun menjadi alasan tertunda tanpa kepastian,” tegas Hetifah.
Ia menekankan bahwa penghapusan status honorer tidak boleh disalahartikan sebagai hilangnya hak-hak dasar guru. Ia menegaskan pentingnya kepastian penghasilan layak, perlindungan hukum, tunjangan, serta jaminan sosial sebagai bagian dari paket kebijakan baru.
“Ini bukan bonus. Ini hak dasar,” tandasnya.
Kesenjangan regulasi guru umum dan madrasah
Hetifah juga menyoroti perbedaan regulasi antara guru di bawah Kemendikbudristek dan guru madrasah di bawah Kementerian Agama. Ia mengingatkan bahwa transisi menuju penghapusan honorer tidak boleh menghasilkan kesenjangan baru antarkelompok guru.
“Jangan sampai reformasi kepegawaian justru menciptakan dua kecepatan: satu guru diuntungkan, yang lain tertinggal,” ujarnya.
Menurutnya, koordinasi lintas kementerian dan lembaga terutama KemenPAN-RB, Kemendikbudristek, Kementerian Agama, pemerintah daerah, dan BKN harus dipastikan berjalan konsisten agar tidak ada pendidik yang tertinggal dalam proses ini.
Meski UU ASN dan regulasi turunannya telah menetapkan bahwa nomenklatur guru honorer akan dihapus pada akhir 2025, mekanisme PPPK Paruh Waktu yang menjadi jembatan transisi hingga kini belum memiliki aturan teknis resmi dari KemenPAN-RB dan BKN. Kondisi ini, menurut Hetifah, berpotensi memunculkan kebingungan bagi pemerintah daerah maupun guru.
Ia mengingatkan bahwa pemda tetap bisa mengusulkan formasi guru sesuai kebutuhan instansi masing-masing apabila formasi nasional belum dibuka.
Langkah ini penting untuk menjaga pelayanan pendidikan tetap berjalan tanpa mengabaikan ketentuan kepegawaian yang berlaku.
Sebagai pimpinan Komisi X yang membidangi Pendidikan, Hetifah menilai isu guru honorer bukan hanya masalah administratif. Ia menegaskan bahwa penataan ulang status dan kesejahteraan guru merupakan bagian dari upaya mewujudkan keadilan sosial sekaligus menjaga kualitas pendidikan nasional.
“Jika kebijakan ini gagal, kita mengirim pesan bahwa pengabdian guru bukanlah investasi bangsa, melainkan beban yang bisa dicabut kapan saja,” kata Hetifah.
“Kita berbicara tentang ribuan guru yang mempertaruhkan kehidupan mereka demi generasi bangsa. Pemerintah harus menunjukkan bahwa mereka adalah prioritas, bukan pelengkap anggaran,” tambahnya.
Ia memastikan DPR akan menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan untuk memastikan transisi menuju penghapusan honorer berjalan adil dan sesuai mandat undang-undang.
Hetifah kembali menekankan pentingnya menghadirkan kebijakan nyata yang melindungi para pendidik.
“Hari ini kita tidak sekadar memperingati Hari Guru Nasional. Kita menegaskan bahwa penghargaan terhadap guru harus diterjemahkan dalam regulasi, anggaran, dan tindakan nyata,” pungkasnya.