Semarang, NU Online
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah HM Muzammil mengemukakan, perbedaan pendapat dan sikap para ulama tentang suatu masalah menunjukkan kuatnya khazanah pemikiran Islam yang dinamis seiring dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
“Di lingkungan NU sendiri perbedaan pandangan dan sikap tentang suatu masalah adalah hal yang biasa, bukan hal yang aneh,” tandas Muzammil.
Dikatakan, perbedaan pandangan tersebut menjadi keniscayaan karena faktor teks dan konteks serta latar belakang sejarah, geografi, dan tata nilai budaya masyarakat setempat.
Kepada NU Online, Muzammil menjelaskan, pada masa Nabi Muhammad SAW juga sering terjadi perbedaan pendapat di antara para Sahabatnya. Misalnya sahabat yang sehari-harinya bersama Nabi dikenal dengan ahli Hadits, sementara Sahabat yang tempat tinggalnya jauh dari tempat tinggal Nabi SAW dikenal sebagai ahl al-ra’yu.
“Bahkan terhadap pesan Nabi SAW juga ada perbedaan pendapat di antara para Sahabat. Misalnya pesan Nabi SAW bahwa, hendaknya kalian jangan shalat Asar kecuali sudah sampai di perkampungan Bani Quraidhah. Kenyataannya, ketika dalam perjalanan terdengar suara adzan Asar, ada sahabat yang ikut jamaah shalat Asar. Ada pula yang meneruskan perjalanan dan shalat Asar di tempat tujuan, desa Bani Quraidhah,” paparnya.
“Dengan kejadian tersebut, ada sahabat yang melaporkan kepada Nabi SAW. Namun, Nabi tidak menegur sahabat yang menunaikan shalat Asar di tengah perjalanan. Inilah indahnya mengikuti sunnah Nabi. Ada yang berpikir tekstual dan ada pula yang berpikir kontekstual,” imbuhnya.
Menurut mantan Korcab PMII Jawa Tengah ini, perbedaan pendapat di kalangan sahabat sering terjadi setelah Rasulullah SAW wafat. Dimulai dari musyawarah tentang siapa yang akan meneruskan kepemimpinan umat Islam pasca wafatnya Nabi SAW. Kemudian dipilihlah Sahabat Abu Bakar As-Shidiq, kemudian Sahabat Umar bin Khattab, Sahabat Utsman bin Affan, lalu Sahabat Ali bin Abi Thalib.
“Perbedaan pendapat kemudian meruncing setelah wafatnya Sahabat Utsman bin Affan sehingga terjadi perang saudara antara Sahabat Ali dan Siti Aisyah ra, kemudian disusul perang antara Sahabat Ali dengan Sahabat Mu’awiyah, hingga menimbulkan firqoh syi’ah dan khawarij,” tandasnya.
Politik dan Lahirnya Sekte
Disampaikan, setelah itu juga muncul golongan Muktazilah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, dan kemudian berkembang menjadi 73 firqoh.
“Sejarah kelam perang saudara menjadi pelajaran berharga bagi generasi setelahnya. Faktor penyebabnya bukan tentang agama, melainkan tentang politik kekuasaan. Dari sini kemudian muncul istilah 'Islam politik' di satu pihak dan 'politik Islam' di pihak yang lain,” tukasnya.
Dipaparkan, secara sederhana dapat dipahami bahwa Islam politik adalah kelompok umat Islam yang menggunakan Islam sebagai alat pembenar bagi aktivitas politik kekuasaannya. Untuk memperoleh dukungan luas dari umat, kelompok ini tidak segan-segan menggunakan dalil naqli yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah untuk memberi keabsahan bagi sikap politiknya.
“Islam nampak hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk memperoleh dukungan massa. Bahkan kelompok ini tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk memaksakan keinginan politiknya, seperti ditunjukkan oleh firqah khawarij,” bebernya.
Di pihak lain, lanjutnya, kelompok Islam Politik adalah mayoritas umat yang menjadikan Islam sebagai inspirasi kegiatan politiknya. Bahwa berpolitik adalah untuk memperjuangkan ukhuwah, memperjuangkan keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh ummat.
“Karena itu dalam politik Islam diupayakan terwujudnya visi Islam secara menyeluruh seperti terbentuknya masyarakat yang bertakwa, berakhlak mulia, dan menjunjung tinggi hasil musyawarah, dan mewujudkan kasih sayang (rahmat) bagi semesta alam,” tegasnya.
Menurut Muzammil, perbedaan pendapat yang dapat menjadi rahmat adalah perbedaan yang didasari atas ilmunya ulama, bukan didasari oleh nafsu kepentingan politik yang bersifat duniawi.
“Ilmu adalah cahaya. Ilmu ulama bersumber dari wahyu yang sudah diterima Nabi SAW yakni Al-Qur'an dan Al-Hadits dengan penalaran yang sudah disepakati metodologinya oleh mayoritas ulama yaitu ijma dan qiyas,” jelasnya.
“Perbedaan pandangan yang tidak didasari pada ilmunya ulama akan sia-sia belaka, bahkan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar,” pungkas Muzammil.
Pewarta: Muiz
Editor: Musthofa Asrori