Ulama Perempuan Mancanegara Kunjungi Indonesia untuk Perkuat Advokasi Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial
Sabtu, 19 Oktober 2024 | 13:00 WIB
Foto bersama dalam acara Women Ulama Learning Visit di Hotel Patra Cirebon, Jawa Barat, pada Selasa (15/10/2024). (Foto: dok. KUPI)
Cirebon, NU Online
Sebelas ulama perempuan mancanegara mengunjungi Indonesia dan mengikuti kegiatan Women Ulama Learning Visit di Hotel Patra Cirebon, Jawa Barat, pada Selasa (15/10/2024). Kunjungan mereka bertujuan untuk memperkuat advokasi kesetaraan gender dan inklusi sosial.
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) berkolaborasi dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), dan Fahmina Institute menjadi fasilitator dalam kunjungan sebelas ulama perempuan mancanegara itu.
Kegiatan itu diberi tema Penguatan Perspektif dan Peran Ulama Perempuan dalam Pemajuan Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial di Afghanistan, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Pakistan.
Kegiatan ini dirancang sebagai ruang pertukaran pengalaman dan pengetahuan, serta perluasan jaringan untuk pemajuan kesetaraan gender dan inklusi sosial dalam konteks keagamaan.
Salah satu fokus utama kegiatan ini adalah agar para ulama perempuan mampu menggunakan argumen keagamaan untuk mempromosikan keadilan gender, sekalipun mereka berada di negara yang pada umumnya masih didominasi oleh budaya patriarki.
Peran penting para tokoh ulama perempuan Muslim ini dinilai cukup relevan dan strategis dalam mendukung gerakan kesetaraan gender dan keadilan sosial, serta membawa perubahan budaya.
Dengan pendekatan ini, faktor budaya, sosial, termasuk penafsiran agama yang seringkali menghambat pemenuhan hak-hak perempuan dapat diatasi.
Peran Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, tentu sangat menentukan masa depan kesetaraan gender dan inklusi sosial dengan keberagaman agama dan budayanya.
Gerakan moderasi agama, kesetaraan gender dan inklusi sosial yang diusung oleh ulama perempuan dalam konteks Islam, salah satunya adalah KUPI, sangat relevan untuk gerakan ke depan.
Dengan perspektif yang sama, sebuah workshop memberikan ruang kepada para peserta memperdalam pemahaman dan berbagi pandangan serta pengalaman tentang kesetaraan gender dan inklusi sosial melalui lima materi yang saling terkait yakni Jati Diri Manusia dan Misi Dasar Islam, Konsep Ma’ruf dan Keadilan Hakiki Perempuan, serta Konsep Mubadalah,
Selain itu, peserta berdialog dengan akademisi serta mahasiswa dari ISIF Cirebon, UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, dan para santri di Pesantren Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon yang menjadi tempat digelarnya KUPI pertama.
Program Officer for Preventing Violent Extremism INFID Sanita Rini berharap, para tokoh dan ulama perempuan dari Pakistan, Filipina, Thailand dan Malaysia ini dapat melanjutkan segala sesuatu yang sudah didapatkan dalam kunjungan ini dan dapat meningkatkan kepercayaan diri sebagai ulama perempuan.
"Untuk mendorong baik pemajuan HAM, hak perempuan dan juga keadilan gender serta inklusi sosial di negaranya, baik secara program maupun kebijakan yang bermanfaat untuk komunitas masing-masing,” kata Sanita, sebagaimana rilis yang diterima NU Online, Sabtu (19/10/2024).
Ketua Majelis Musyawarah KUPI Nyai Hj Badriyah Fayumi mengatakan bahwa kegiatan pertemuan dengan sebelas ulama perempuan mancanegara itu semakin menguatkan gerakan yang selama ini dilakukan KUPI.
Disamping itu, lanjutnya, kegiatan ini dapat memperkaya KUPI dengan menangkap wawasan baru dari para peserta.
"Terkait metodologi Fatwa KUPI seperti ma'ruf itu sangat penting untuk kita sampaikan secara luas dengan contoh praktis di lapangan. Kita juga penting mendapatkan contoh praktis dari berbagai negara, cara mempraktikkan dalam perjuangannya dan rekognisi ulama perempuan," kata Nyai Badriyah.
Berikutnya, KUPI akan melakukan konsolidasi dan kaderisasi ulama perempuan dengan lima ranah khidmah dan juang yaitu perguruan tinggi, pesantren, majelis taklim, komunitas dan anak muda.
"Sementara ranah juangnya adalah keluarga, negara, komunitas, gerakan dan alam semesta," tambah Nyai Badriyah.
Anggota Majelis Musyawarah KUPI Faqihuddin Abdul Kodir mengatakan bahwa pada forum pertemuan itu, pihaknya banyak belajar terkait berbagai hal yang bisa dihadapi dari tantangan kultural, organisasi dan politik.
"Pengalaman teman-teman KUPI mendekati sumber keislaman dan konstitusi bisa di dialihkan, di-share dari berbagai pihak. Di antaranya konsep ma'ruf sesuatu yang baik yang memperkuat modal masing-masing, mulai dikerjakan pada perubahan sosial yang adil," jelas Kang Faqih, sapaan akrabnya.
"Kita mengenalkan hal yang baik ini, kita ajak laki-laki dan perempuan sebagai subjek reformasi dan menerima dampak keadilan itu. Kemudian kita mendasarkan ma'ruf dan mubadalah pada keadilan hakiki perempuan," lanjutnya.
Direktur Fahmina Institute Marzuki Rais merasa bangga atas kegiatan atau pertemuan dengan sebelas ulama perempuan mancanegara itu. Sebab ia merasa, segala upaya yang selama ini dilakukan, kini telah membuahkan hasil.
“Kerja-kerja penguatan perempuan dan kampanye kesetaraan gender, mendapat respons dari ulama dan aktivis perempuan dari berbagai negara seperti Pakistan, Thailand, Filipina dan Malaysia," kata Marzuki.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia, terutama gerakan perempuan dipandang lebih baik. Sebab di sini, perempuan memiliki ruang dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Ia melanjutkan bahwa di beberapa kepengurusan ormas keagamaan, perempuan juga menempati posisi serta hak suara yang sama dengan laki laki. Bahkan, pemikiran beberapa ulama perempuan Indonesia menjadi rujukan dalam kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia.
"Antusiasme peserta dalam mengikuti kegiatan workshop; dengan mendengarkan dan mendiskusikan secara saksama bagaimana metodologi KUPI digunakan, seolah menjadi energi baru bagi mereka dalam melanjutkan gerakan kesetaraan gender perspektif Islam di negaranya," jelas Marzuki.
Founding Chairperson Nisa Ul-Haqq Fi Bangsamoro Filipina Yasmin Busran-Lao mengaku sudah lama mendengar KUPI. Ia merasa yakin ketika sudah berdiskusi dan mendengarkan gerakan serta metodologi fatwa KUPI.
Bagi Yasmin, pengalaman berkunjung ke Indonesia sangat penting sebagai bekal untuk menopang gerakan ke depan dengan memperkuat dan mendorong perempuan untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender.
"Karena sampai hari ini, masih ada perilaku tidak adil dan memosisikan perempuan sebagai subordinat di tengah masyarakat. Gerakan kesetaraan ini akan kami teruskan di komunitas kami. Dengan meneguhkan dan memperjuangkan hak-hak perempuan melalui kontekstualisasi tafsir Al-Qur'an," kata Yasmin.
Aktivis Muslim Thailand, Thanarin mengaku baru tahu ada gerakan KUPI. Ia merasa sangat tertarik dengan gerakan ulama perempuan di Indonesia itu.
"Saya sangat tertarik karena baru tahu ada kongres ulama perempuan indonesia (KUPI) dan tertarik. Harapnya bisa membawa nilai atau ajaran tentang hak perempuan terutama isu perkawinan anak. Nilai ini bisa saya bawa dan diketahui orang-orang di Thailand," kata Thanarin.
Dari kegiatan ini, para ulama perempuan mancanegara itu menyepakati dua rencana aksi bersama.
Pertama, memperkuat jejaring tokoh dan ulama perempuan untuk advokasi pemajuan gender dan inklusi sosial, melalui seminar, penelitian, dan workshop.
Kedua, memperkuat solidaritas dengan melibatkan tokoh dan ulama perempuan dari Afghanistan dalam konteks pemajuan hak perempuan dan inklusi sosial melalui berbagai mekanisme pertemuan, termasuk workshop daring.