Nasional

Uraian Kiai Miftach soal Hakikat Ibadah Perspektif Tasawuf

Sabtu, 8 November 2025 | 19:00 WIB

Uraian Kiai Miftach soal Hakikat Ibadah Perspektif Tasawuf

Tangkapan layar Youtube KH Miftachul Akhyar saat Ngaji Syarah al-Hikam pertemuan ke-143 di Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya, Jumat (7/11/2025).

Surabaya, NU Online
Ibadah dalam khazanah ilmu tasawuf dipahami sebagai ekspresi ketaatan dan kepatuhan manusia kepada Allah Swt. Ekspresi ini menempatkan Allah sebagai satu-satunya motivasi dan orientasi pengamalannya, sehingga ibadah yang bertolak atas dasar iming-iming imbalan disebut bukan hakikat dari ibadah.


Penjelasaan demikian disampaikan Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar saat Ngaji Syarah Al-Hikam  pertemuan ke-143 di Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Jalan Kedung Tarukan No. 100, Surabaya.


"Karena hakikat ibadah itu tidak ada kepentingan lain selain wujud cinta kepada Allah. Bukan karena takut neraka, bukan lantaran agar meraih surga atau kemuliaan di dunia,"  ujar Kiai Miftach dalam tayangan  YouTube KH Miftachul Akhyar dikutip NU Online, Sabtu (8/11/2025).

 

Ia mengatakan, ibadah seperti shalat dapat memudahkan datangnya rezeki. Menurutnya, hal ini bisa terjadi selama mushalli  (orang yang melakukan shalat) tidak terbersit dari imbalan atas ibadahnya. Pandangan ini disandarkan kepada Surat Thaha ayat 132.

 

"Coba  Sampeyan (Anda) analisa dengan logika, dalam satu ayat perintah shalat dihubungkan dengan rezeki. Itu pasti ada kandungan shalat yang benar akan mendatangkan rezeki," ujarnya kepada jamaah.

 

Lebih lanjut, Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah itu pun mengatakan, manusia cenderung memikirkan hal lain di dalam ibadah. Secara bersamaan, manusia dianjurkan khusyu' dalam beribadah. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk melatih dan membiasakan ibadah seperti itu dengan menghayati doa atau bacaan dalam shalat.

 

"Kalau nggak dilatih kita nggak biasa akhirnya, ayo kita coba bareng-bareng, sama saya juga. Mencoba ibadah yang tulus, yang ikhlas," ajaknya.

 

Menurut Tafsir Tahlili dijelaskan, QS Taha ayat 132 memuat perintah shalat bagi seseorang yang tengah mengalami kebuntuan dalam hidup dan menjaganya dengan sabar. Pada saat yang sama, ayat itu memperingatkan Nabi Muhammad, keluarganya dan umatnya untuk tidak terlalu terobsesi dalam persoalan hartawi. https://quran.nu.or.id/thaha/132


"Perintah itu diiringi dengan perintah yang kedua yaitu dengan peringatan bahwa Allah tidak minta rezeki kepada Nabi, sebaliknya Allah yang akan memberi rezeki kepadanya, sehingga Nabi tidak perlu memikirkan soal rezeki keluarganya," demikian tafsirnya.


Meski demikian, Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya menegaskan bahwa seseorang tidak boleh menyepelekan usaha zahir untuk memperbaiki kualitas hidup. Namun, upaya perbaikan itu tidak boleh mengabaikan shalat sebagai tugas pokok manusia di hadapan Allah swt.