Urgensi Literasi Keuangan agar Terhindar Jeratan Pinjol Ilegal
Kamis, 4 November 2021 | 08:30 WIB
Jakarta, NU Online
Dosen Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta, Kartini Laras Makmur memandang penting edukasi serta literasi keuangan inklusif bagi masyarakat agar tak terjerat pinjaman online (pinjol) ilegal.
"Literasi keuangan ini penting bagi masyarakat agar paham cara mengelola uang dengan memahami perbankan, investasi, manajemen keuangan pribadi. Sehingga masyarakat tidak terjebak pinjol ilegal,” kata Kartini kepada NU Online, Kamis (4/11/2021).
Dijelaskan, keuangan inklusif merupakan kondisi ketika masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai produk dan layanan keuangan formal yang berkualitas secara tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal ini peran perbankan sangat penting mengupayakan peningkatan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. “Upaya preventif lainnya bisa oleh pemerintah dalam mengatasi peredaran pinjol ilegal di masyarakat melalui diseminasi informasi positif kepada seluruh lapisan masyarakat khususnya milenial dan para ibu dalam memilih fintech yang aman,” jelas Ketua PW Fatayat NU DKI Jakarta itu.
“Apalagi pemerintah sendiri menargetkan inklusi keuangan sebesar 90 persen di 2024,” lanjutnya.
Akses Bank tak ramah perempuan
Merujuk data pengaduan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, sebanyak 72,08 persen laporan dari perempuan tentang pinjol ilegal. Dalam laporan disebutkan, pihak pinjol kerap menyebarkan foto atau data pribadi dengan maksud mempermalukan korban.
Kartini mengatakan, hal itu merupakan dampak dari sulitnya perempuan untuk mengakses bank dengan berbagai peraturan yang ditetapkan. Karenanya, tak heran jika perempuan menjadi kelompok yang paling banyak mengakses pinjol sekalipun mengetahui risiko keamanannya.
“Prosesnya (mengakses bank) ternyata susah sehingga pinjol merupakan sebuah peluang yang bisa digunakan oleh kelompok-kelompok yang sebenarnya enggak bankable ini,” katanya.
Karenanya, lanjut dia, kehadiran pinjol dinilai sebagai peluang baik untuk menutup batas atau gap pada perempuan marginal yang tidak dapat mengakses bank. Sayangnya, kehadiran pinjol alih-alih membantu kelompok-kelompok marginal tersebut, tetapi justru melahirkan masalah-masalah lain.
“Sampai saat ini saya belum bisa membaca bagaimana skema pinjol-pinjol ilegal itu dalam membantu kelompok-kelompok tersebut, yang saya lihat justru mereka malah masuk ke dalam permasalahan-permasalahan lain,” ungkapnya.
Masalah lain yang dimaksud adalah penawarannya kini bukan hanya dalam bentuk uang, tapi juga merebak ke barang-barang rumah tangga, hadiah-hadiah, atau voucer-voucer yang justru membuat perempuan terjerumus dalam persoalan lainnya, seperti konsumerisme.
“Nah, ini yang harus dilihat dan menjadi PR bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bagaimana cara menertibkan pinjol agar tidak sampai merugikan,” tegas Kartini.
“Ya, (OJK) harus bisa mengarahkan agar mereka (pinjol) punya perspektif atau prosedur yang tidak menekan kelompok minoritas sehingga dapat membantu perekonomian,” tandas dia.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syakir NF