Jakarta, NU Online
Pasal 31 ayat 2 dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 menuai perdebatan di dalam “Bahtsul Masail Hukum Aborsi (Membedah PP 61/2014 Tentang Kesehatan Reproduksi)” yang digelar Lembaga Bahtsul Masail NU dan Lembaga Kesehatan NU di Lantai 5 Gedung PBNU, Jakarta, Rabu (1/10).
<>
Pasal tersebut menyatakan bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Namun usia kehamilan ini masih menyisakan sejumlah pertanyaan.
Wakil Ketua Pengurus Pusat KH Arwani Faisal menjelaskan sejumlah kemungkinan penghitungan masa tersebut, antara lain apakah 40 hari tersebut dihitung sejak kasus perkosaan terjadi, atau sejak terjadinya ovulasi atau implantasi, atau bertemunya sel telur dan sperma. Menurutnya, jika sejak bertemunya telur dan sperma pun, kita tidak pernah mengetahui hal itu.
Sementara itu, Ketua LKNU, Imam Rosjidi menjelaskan, aborsi dilakukan kepada korban perkosaan pada usia kehamilan kurang dari 40 hari. “Menurut saya, hal tersebut dihitung yaitu sejak bertemunya sel telur dan sel sperma kemudian membentuk zigote,” terang dokter spesialis kandungan ini.
Dirinya menjelaskan bahwa berdasarkan PP tersebut, aborsi hanya dapat dilakukan oleh tim kelayakan, dokter, dan profesional setelah melalui konsultasi dengan seorang psikolog.
Kemudian menurut Katib Syuriah PBNU KH. Afifuddin Muhajir, persoalan seorang perempuan yang diperkosa apakah sering melakukan hubungan intim dengan suaminya jika sudah bersuami menjadi poin yang penting dalam menentukan lama kurang dari 40 hari ini.
“Sehingga usia kehamilan kurang dari 40 hari ini dihitung sejak setelah bertemu sel telur dan sel sperma atau setelah menempelnya Zigote di dinding rahim,” papar Kiai Afif.
Lalu, Syuriah PBNU KH. Masdar Farid Masudi memberikan pandangan bahwa 40 hari ini dihitung sejak proses pembuahan atau sejak terjadi pemerkosaan. Selain dia diperkosa, lanjutnya, dia juga bersuami atau belum. Atau kalau pun telah bersuami, paparnya lagi, si perempuan tersebut juga sering berhubungan intim dengan suaminya tidak.
“Sehingga dari semua itu, pemilahan dan aspeknya jelas”, tuturnya.
Masdar juga menjelaskan, kalau hukum fiqih sendiri memberikan toleransi jika kondisinya darurat dan dengan alasan yang amat mendesak. Aborsi juga menurutnya, menjadi pilihan perempuan yang bersangkutan.
“Tapi perlu diingat, PP ini lahir karena para dokter sendiri terikat dengan kode etik sehingga perlu pelegalan. Namun perlu diingat juga bahwa jangan memaksakan untuk diundangkan jika tidak memungkinkan karena kehidupan tidak semua harus diundangkan,” pungkasnya. (Fathoni/Mahbib)