Jakarta, NU Online
Presiden Joko Widodo menetapkan Usmar Ismail sebagai Pahlawan Nasional. Perjuangannya dalam bidang militer dengan mengangkat senjata dan meneteskan darah koloni memang tak tampak. Tetapi, tidak ada yang bisa menafikan, buah ‘Darah dan Doa’ (salah satu judul film karyanya), mengantarkannya ditetapkan sebagai seorang pahlawan nasional.
Bapak Perfilman Indonesia itu berperan penting dalam melawan penjajahan budaya yang masuk melalui film-film impor. Bersama dua rekannya, Asrul Sani dan Djamaluddin Malik, ia berhasil mendominasi pasar film di Bumi Pertiwi. Semula, film impor dari Amerika dan Hongkong memenuhi berbagai tayangan hiburan Indonesia, tangan dingin mereka membalikkan semuanya.
Sejarawan KH Abdul Munim DZ menyebut bahwa keberhasilan Usmar Ismail dalam memproduksi film berdampak besar terhadap berbagai sektor. Tidak hanya dalam pengembangan bermain peran yang masuk dalam kesenian dengan terserapnya para artis, tetapi juga pada budaya dan ekonomi negeri.
“Itu pengaruh luar biasa. Tidak hanya budaya, tetapi pengaruhnya pada bidang ekonomi. Indonesia mandiri dalam perfilman,” katanya kepada NU Online, Rabu (10/11/2021).
Bahkan, hari dibuatnya film ‘Darah dan Doa’ menandai kemandirian perfilman Indonesia sehingga ditetapkan sebagai Hari Film Indonesia, yakni pada 30 Maret.
Munim menjelaskan bahwa kekuatan Usmar Ismail dalam membuat film tersebut ditopang dengan kekuatan politik NU. Biaya produksi film-film Usmar di antaranya ditopang dengan banyaknya penjualan tiket penonton. Pasalnya, film-film itu juga diputar di berbagai Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU).
“Jadi, NU berperan di situ dalam film nasional. Termasuk film diedarkan di cabang. Dimainkan juga di PCNU-PCNU. Produksi film itu dibiayai oleh penonton besar,” jelasnya.
Pemutaran film-film itu bukan saja dalam rangka meningkatkan ekonomi, mengokohkan budaya Indonesia, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap liberalisasi terhadap dua sektor tersebut. Tanpa peranan politik NU, tentu hal tersebut akan sulit untuk terwujud.
“Gak mungkin berbudaya tanpa politik,” terang Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Atas jasanya itu, Usmar Ismail sangat layak menyandang anugerah Pahlawan Nasional. Munim menyebut bahwa sosok pendiri Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu sebagai pahlawan nasional yang angkat kamera. “Usmar Ismail berjuang tidak dengan mengangkat senjata, tetapi dengan mengangkat kamera,” katanya.
Dengan pengukuhan Usmar Ismail sebagai pahlawan nasional, pemerintah sudah mulai menaruh perhatian terhadap para pejuang yang berada di jalur non-fisik, tidak mengangkat senjata dan tergabung dalam militer. “Artinya, itu penghargaan bukan fisik, tetapi non fisik sudah diakui,” ujarnya.
Bukan tidak mungkin, lanjutnya, para pengharum nama bangsa di bidang lainnya juga dapat diangkat menjadi pahlawan nasional. Misalnya bidang olahraga, keilmuan, teknologi, dan sebagainya. Mengibaratkan dengan penghargaan nobel, Indonesia dapat mengukuhkan pahlawan di berbagai bidang tersebut.
“Pahlawan lebih bervariasi. Bukan sekadar militer, tetapi juga karya-karyanya,” pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi