UU Pers Masih Bersifat Umum, Ahli Hukum Sebut Wartawan Berhak Dijamin Hak Imunitas Profesinya
Selasa, 11 November 2025 | 12:30 WIB
Jakarta, NU Online
Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti, Albert Aries, menjelaskan bahwa Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers masih bersifat terlalu umum sehingga belum memberikan kepastian hukum bagi wartawan.
Albert yang dihadirkan sebagai saksi ahli dari Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) dalam perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025, menilai bahwa petitum yang diajukan pemohon cukup beralasan karena kepastian hukum yang tertera masih samar, yaitu ‘dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum’.
Ia menjelaskan, ‘perlindungan hukum’ yang dimaksud adalah jaminan dari Pemerintah atau masyarakat bagi wartawan dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Penjelasan dari Pasal 8 tersebut masih bersifat delegatif dan bergantung pada ‘peraturan perundang-undangan lain’, tanpa menyebut ketentuannya secara spesifik,” jelasnya dikutip NU Online dari laman resmi MKRI di Gedung MK RI, Jakarta, pada Senin (10/11/2025). https://www.mkri.id/berita/ahli-nilai-perlindungan-hukum-bagi-wartawan-dalam-uu-pers-masih-bersifat-umum-24059
Albert menjelaskan, wartawan yang menjalankan profesinya dengan itikad baik sesuai Kode Etik Jurnalistik tidak seharusnya dikenai tindakan hukum. Sebaliknya, wartawan yang melakukan pelanggaran seperti pemerasan, fitnah, atau tindak pidana lainnya tetap dapat diproses hukum.
“Profesi wartawan juga berhak atas imunitas profesi (sebagai hak profesi) sebagaimana profesi lain yang diatur undang-undang. Namun, imunitas ini tidak boleh dimaknai sebagai impunitas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Albert menilai ketentuan yang seharusnya menjadi dasar perlindungan hukum bagi wartawan justru bersifat eksternal, yakni pada Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang mengatur larangan bagi siapa pun menghambat pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) tentang larangan penyensoran dan pembredelan.
Sebagai perbandingan, Albert menyebut beberapa profesi lain memiliki perlindungan hukum yang lebih jelas dan spesifik, antara lain advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Pasal 26 UU Nomor 15 Tahun 2006, serta Ombudsman Republik Indonesia dalam Pasal 10 UU Nomor 37 Tahun 2008.
Lebih lanjut, Koordinator Tim Kuasa Hukum Iwakum, Viktor Santoso Tandiasa menilai bahwa Pasal 8 UU Pers belum memberikan perlindungan secara nyata bagi Pers saat menjalankan tugasnyam.
"Hal tersebut dibuktikan dengan kesaksian dari Saksi yang kami hadirkan dimana saat sedang melaksanakan tugasnya saksi masih sering mendapatkan intimidasi dan kekerasan. Sementara secara norma semakin clear bahwa ketentuan norma pasal 8 uu pers masih multitafsir dan hal tersebut diamini dan ditegaskan oleh Ahli yang kami hadirkan," katanya kepada NU Online pada Selasa (11/10/2025).
"Sehingga menjadi sangat beralasan menurut hukum apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan kami," tambahnya.
Dalam petitumnya, Iwakum meminta agar Pasal 8 UU Pers, yang berbunyi “dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum,” dimaknai lebih tegas, yaitu: pertama, “termasuk perlindungan dari tindakan kepolisian dan gugatan perdata terhadap wartawan yang menjalankan profesinya sesuai kode etik pers”.
Kedua, “pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers.”