Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa menyampaikan bahwa NU menjunjung derajat perempuan. Hal demikian bukan saja untuk di lingkungan organisasi, tetapi juga dikampanyekan secara langsung kepada dunia internasional.
“Kami mempromosikan bagaimana NU memiliki pemimpin perempuan ke berbagai pihak di berbagai negara. Salah satunya dengan membawa Rektor UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta, Profesor Amany Lubis. UIN terbesar di Indonesia dengan memiliki mahasiswa 40 ribu. Anggota Muslimat NU. Kami mempromosikan dengan membawa, inilah kader kami menduduki jabatan prestisius,” katanya memberikan jawaban kepada delegasi dari dari Global Exchange on Religion in Society (GERIS) saat berkunjung ke Kantor PBNU di Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, pada Rabu (6/7/2022).
Kiai Zulfa menjelaskan, bahwa pengangkatan derajat perempuan di lingkungan NU tidak ujug-ujug dilakukan. Mereka sedini mungkin sudah mulai dikader untuk menjadi pemimpin perempuan di masa mendatang. Kaderisasi mereka dimulai dari tingkat pelajar di Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), kemudian Fatayat NU untuk kaum pemudi, hingga Muslimat NU.
“Dimulai sejak pelajar IPPNU. Naik ke Fatayat NU dari mulai 25 tahun hingga 40 tahun. Di atas 40 tahun, mereka sudah matang masuk ke Muslimat NU. Perempuan di NU bisa disalurkan di berbagai macam tempat. Rektor, DPR, Guru Dosen, Pengusaha, Politisi,” jelas penulis kitab Tuhfatul Qashi wad Dani, Biografi Syekh Nawawi al-Bantani itu.
“Inilah barangkali cara kami, mengkader mereka para wanita dengan pengkaderan yang sangat panjang, memberikan ruang untuk bisa berperan banyak di kehidupan masyarakat, baik sosial maupun keagamaan,” imbuhnya.
Dari situ kemudian, PBNU menjelaskan ke dunia, bahwa NU memiliki konsen terhadap perempuan.
Selain itu, dua pimpinan PBNU juga terdiri dari perempuan, yakni Hj Alisa Qotrunnada Wahid dan Hj Khofifah Indar Parawansa. “PBNU memberikan contoh ada dua pimpinan dari perempuan,” ujarnya.
Saat berkunjung ke Afghanistan, hal tersebut disampaikan kepada para pemimpin negara itu. Ia juga menjelaskan, bahwa Indonesia telah memiliki tokoh-tokoh perempuan yang menduduki berbagai sektor penting. Namun, ulama di sana meminta agar orang lain memahami kultur Afghanistan yang berbeda.
Adapun pemisahan belajar antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana banyak terdapat di pesantren NU, menurutnya, bukan berarti perempuan laki-laki berkumpul itu dosa. Ini pemahaman kearifan lokal yang harus dihormati. Ulama-ulama memang ada yang konservatif dan moderat. Ada yang masih memegang teguh prinsip dan berusaha mengatur belajar dan perempuan laki-laki dipisahkan. “Bukan karena dilarang. Tapi lebih menjaga fitnah,” katanya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin