Semula saya mengira, wayang wolak-walik adalah karena cerita yang ditampilkan menggambarkan suasana ‘wolak-waliking’ zaman. Sempat pula saya menduga mungkin yang dimaksud wayang wolak-walik adalah selama pertunjukan, wayang-wayang akan sering dibuat berloncat-loncatan, sehingga bagian kepala wayang akan diletakkan di bawah, dan sesekali kakinya berada di atas.
Namun, dua perkiraan itu keliru. Dinamakan wayang wolak-walik ternyata adalah karena satu kelir—layar sebagai media tempat wayang dipertunjukkan—dipakai oleh dua dalang.
Soal pencahayaan, pada kedua bagian layar itu tetap terkena cahaya lampu menyesuaikan bagian layar yang mana yang sedang dijadikan area berkisah.
Selain keunikan tadi, karena dimainkan dua dalang secara bergantian, mereka pun membawakan cerita yang seakan-akan berbeda, namun sebenarnya berhubungan.
Pun soal cerita dan para tokoh. Bila pada pertunjukan wayang purwa membawakan kisah Ramayana dan Mahabarata, wayang wolak-walik tidak ada tokoh baku yang ditampilkan. Tokoh bisa lebih kekinian, menyesuaikan kondisi atau tren saat ini.
Pada peringatan harlah NU di Gedung PBNU, akhir Januari lalu, misalnya, Dalang Azis dan Dalang Jumali, membawakan cerita seorang anak kecil yang di kampungnya terkena banjir. Anak kecil itu lalu meminta pertolongan kepada kiai.
Tetapi yang ada saat itu bukanlah kiai. Anak itu tidak mau menerima pertolongan orang lain. Sampai sang anak mengalami kesusahan dan tenggelam terbawa arus banjir. Padahal orang lain yang menolong itu, datang atas permintaan sang kiai.
Cerita tersebut membawa makna bahwa cara Tuhan untuk menolong sangat banyak. Kita dituntut berhati-hati untuk dapat menemukan kekuatan ilahi. Cerita juga menyimpan pelajaran bahwa keyakinan harus kita jaga, jangan mudah tergoyahkan. Apa yang menjadi tujuan harus kita pegang.
Lik Jum dan Ki Azis menampilkan cerita itu dengan gaya yang cair. Sesekali mereka memasukkan ungkapan ‘Om tolelot om’, ‘update status Facebook’, dan ‘buka pesan WathsApp’.
Kedua dalang memang membebaskan cerita, tidak ada aturan baku seperti misalnya dalam wayang purwa. Namun begitu, ada hal-hal yang pantas untuk direnungkan dari ungkapan-ungkapan yang mereka lontarkan.
Karenanya, dalam menyiapkan cerita kedua dalang menyesuaikan dengan momentum atau karakteristik tempat dan pihak yang mementaskan. Termasuk pada malam itu, kedua dalang membawakan semangat Islam Nusantara.
Musik pada pertunjukan wayang wolak-walik, juga berbeda dengan wayang purwa. Gola, pemain musik yang malam itu mengiringi kedua dalang, menerapkan konsep musik harus sama dengan isi cerita.
Ilustrasi musik, menurut Gola, berangkat dari logika bukan untuk ‘membagus-baguskan’, namun agar selaras dengan cerita. Bebunyian yang terbatas, membawa kondisi dan suasana jiwa yang diperankan wayang. (Kendi Setiawan/Abdullah Alawi)