Wujudkan Pesantren Ramah Anak dengan Komitmen Anti-Kekerasan
Senin, 14 Oktober 2024 | 07:00 WIB
Cirebon, NU Online
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indoensia (KPAI) Aris Adi Leksono menegaskan, bahwa yang paling penting untuk mewujudkan pesantren ramah anak adalah mempunyai komitmen anti kekerasan. Untuk itu, penting para yang santri yang ada di pesantren untuk saling memahami dan menghormati satu sama lain.
Hal itu Aris sampaikan saat mengisi kegiatan Halaqoh Ilmiah Pesantren Pendidikan Ramah Anak dalam rangka Maulid Nabi Muhammad Saw dan Haul XXV Al-Maghfurlah KH Syaerozie Abdurrahim dan Hj Tasmi'ah Abdul Hannan di Pondok Pesantren Assalafie Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, pada Jumat lalu.
“Bagaimana menghilangkan bahaya, bagaimana menghilangkan kerusakan, dalam konteks menciptakan pesantren ramah anak, sama punya komitmen anti-kekerasan. Satu sama lain memahami perbedaan, satu sama lain bisa hidup dengan kesetaraan, satu sama lain bisa menghormati latar belakang keluarganya dan seterusnya. Di pesantren sudah punya niat suci, menghilangkan kebodohan, membahagiakan orang tua, jangan dilukai dengan hal-hal yang negatif,” ujar Aris.
“Saya akan menekankan saja soal anti kekerasan, yang paling urgent mewujudkan soal pesantren ramah anak adalah anti kekerasan. Jangan ada kekerasan di pesantren,” lanjut Aris.
Aris menjelaskan bahwa pesantren mengajarkan kepada para santri untuk mencegah kerusakan lebih dulu dari pada mengambil kebaikan. Bahkan, kata Aris sebelum ada undang-undang anti kekerasan, pesantren sudah lebih dulu mengajarkan mencegah kerusakan.
“Pesantren mengajarkan itu dan kaidahnya jelas dar’ul mafasid (menghindari kerusakan harus didahulukan dari mengambil kebaikan), lah maka kaidah ini jangan dirusak. Sebelum ada undang-undang itu, Pak. Undang-undang perlindungan anak, undang-undang anti kekerasan, pesantren sudah bicara dar’ul mafasid. Cuma sederhana banget tapi merangkum semua kaidah fiqih, kaidah usul fiqih,” tegas Aris.
Menurut Aris, santri merupakan sebuah entitas besar yang ada di Indonesia. Namun, apabila entitas besar itu dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, salah satunya dengan isu-isu negatif, maka kerusakan itu bisa berpotensi terjadi.
“Tapi kalo ada kekerasan anak akan tertuju pada kalian semua, pada pesantren yang kita cintai. Maka jangan ada itu (kekerasan) kalo tidak mau disudutkan. Kita harus meng-counter dengan narasi-narasi positif pesantren,” terangnya.
Selain itu, Aris juga mengungkapkan kejahatan baru pada anak yang dianggap lagi marak terjadi yaitu eksploitasi anak. Hal itu dilakukan melalui jejaring media sosial.
“Dan sekarang ada kejahatan baru yang menyangkut anak, apa itu? eksploitasi. Untuk kepentingan ekonomi tertentu. Ada kasus kejahatan anak yang disebut TPPO, Tindak Pidana Perdagangan Orang. Modusnya sekarang memanfaatkan media sosial, hati-hati adik-adik santri yang dekat dengan media sosial,” ungkap Aris.
Aris mencontohkan seperti orang yang tidak dikenal sama sekali lalu menunjukkan perilaku yang sangat baik. Hal itu menurut Aris, perlu dicurigai dan perlu diwaspadai. Terutama yang dikenal melalui media sosial.
“Tapi ya jangan apatis banget, atau takut banget. Tapi untuk kewaspadaan. Tiba-tiba kenal di FB (facebook), Instagram ya kan. Tau-tau dieksploitasi untuk kepentingan tertentu dan saat ini trennya itu dilakukan melalui media sosial. Perlu diantisipasi,” jelasnya.