YLBHI Nilai Demokrasi Indonesia Terancam, Ruang Kebebasan Sipil Kian Menyempit
Selasa, 23 Desember 2025 | 21:41 WIB
Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana dalam Peluncuran Catatan Akhir Tahun dan Laporan Situasi Hukum dan HAM 2025 bertajuk Menebas Yang Tersisa: Perusakan Sistematis Sisa-sisa Amanat dan Semangat Reformasi Indonesia di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2024). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menilai demokrasi Indonesia saat ini berada dalam kondisi terancam. Dalam satu tahun terakhir, ia menyebut bahwa ruang kebebasan sipil semakin menyempit dan berdampak serius terhadap hak-hak warga negara.
“Indonesia ada dalam ancaman. Ada satu indikator yang jeblok, indikator kebebasan sipil yang semakin menyempit. Selain itu, indeks negara hukum World Justice Project juga mencatat bahwa indeks negara hukum Indonesia melemah,” ujar Arif dalam Peluncuran Catatan Akhir Tahun dan Laporan Situasi Hukum dan HAM 2025 bertajuk Menebas Yang Tersisa: Perusakan Sistematis Sisa-sisa Amanat dan Semangat Reformasi Indonesia di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2024).
Arif juga menjelaskan indikator kondisi terancam ini mencakup sistem peradilan pidana yang dinilai semakin tidak adil, lemahnya pembatasan kekuasaan, serta menurunnya kualitas pengawasan yang tidak transparan dan tidak akuntabel. Selain itu, pemenuhan hak-hak fundamental warga negara juga mengalami kemerosotan.
“Hak berpikir, berpendapat, berkumpul, berekspresi, yang hari ini itu semakin mewah, semakin sulit untuk diperoleh oleh warga negara. Kebebasan sipil menyempit bukan hanya di sektor kemerdekaan menyampaikan pendapat dan berekspresi, tetapi juga bagaimana pers dibungkam. Bukan hanya kemerdekaan pers, termasuk kemerdekaan akademik, mimbar-mimbar akademik juga kemudian direpresi,” katanya.
Menurutnya, intervensi juga terjadi dalam penunjukan pimpinan kampus. Bahkan, ruang ekspresi kesedihan masyarakat turut dibatasi. Arif mengingatkan publik pada pelarangan pameran lukisan yang menggambarkan relasi oligarki dengan kekuasaan, serta pembatasan karya seni dan budaya lainnya.
Ia juga menyinggung lagu kritik terhadap kepolisian berjudul Bayar Bayar Bayar, pementasan teater yang gagal digelar meski telah berizin, serta berbagai bentuk ekspresi seni yang dianggap membahayakan otoritas.
Selain pembatasan fisik, Arif juga menjelaskan bahwa serangan terhadap aktivis dan pembela HAM meningkat, termasuk melalui serangan digital. YLBHI mencatat adanya pola pembungkaman suara kritis melalui jalur hukum.
Pada tahun ini, Arif menyebut DPR dan pemerintah telah melahirkan sejumlah regulasi yang dinilai mengabaikan partisipasi publik. Akibatnya, undang-undang yang dihasilkan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dan hak asasi manusia.
“Kritik hari ini justru dianggap sebagai kejahatan. Ini persoalan serius bagi demokrasi, kedaulatan rakyat, dan kebebasan sipil,” tegasnya.
Arif juga menyoroti lemahnya peran representasi politik. Partai politik dan DPR yang seharusnya mewakili suara rakyat justru tidak menunjukkan keberpihakan yang jelas, sehingga masyarakat terdorong untuk mengambil posisi sendiri dalam memperjuangkan demokrasi.
“Kemudian juga yang memprihatinkan dan mestinya kita sebagai rakyat, sebagai masyarakat itu diwakili oleh DPR, oleh partai-partai politik yang memang memiliki wakil-wakil representasi mereka di jabatan-jabatan publik, termasuk legislator. Tapi yang terjadi, tidak ada posisi hari ini. Ini mendorong masyarakat kemudian mengambil posisi sesungguhnya,” ujarnya.
Arif menambahkan bahwa kondisi tersebut diperparah dengan sulitnya mengharapkan independensi kekuasaan kehakiman. Ia menilai banyak putusan pengadilan tidak sejalan dengan prinsip kebenaran dan keadilan. Di sisi lain, lembaga pengawas negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai semakin lemah dan tidak berdaya dalam memberantas korupsi sistemik.
YLBHI mencatat terdapat sedikitnya 58 kasus serangan terhadap pembela HAM yang menggunakan proses hukum. Pola ini disebut sebagai strategic lawsuit against public participation (SLAPP), yang bertujuan membungkam suara kritis masyarakat sipil.
Ia menambahkan bahwa pembela HAM dan lembaga bantuan hukum kerap dituduh sebagai antek asing atau diserang dengan stigma negatif. Modus lain yang sering digunakan adalah penerapan pasal-pasal karet, seperti pasal penghasutan dalam KUHP dan ketentuan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Biasanya kita dituduh antek asing atau diserang dengan stigma sebagai lembaga yang tidak jelas. Modus lain adalah menggunakan pasal-pasal karet di dalam beberapa undang-undang, misalnya pasal penghasutan dalam KUHP dan juga Undang-Undang ITE,” katanya.