Di antara hal yang tidak membatalkan wudhu adalah bersentuhan kulit secara langsung dengan orang yang memiliki kekerabatan dekat dengan kita, baik sebab hubungan darah (nasab), hubungan persusuan (radha’), atau percampuran sebab perkawinan (musharah). Dalam kehidupan sehari-hari interaksi dua jenis kekerabatan pertama tidak asing lagi, karena keduanya sudah sejak awal berkumpul sebagai keluarga yang hidup berdampingan.
Lain halnya dengan hubungan kekerabatan baru yang terjalin antara mertua dan menantu. Hubungan mertua dan menantu kadang menimbulkan sikap canggung dan tidak enak hati. Hal ini bisa saja terjadi karena interaksi yang baru namun kadang harus berdampingan dan berdekatan.
Meski hubungan mertua menantu seperti hubungan orang tua dan anak, namun masih saja dijumpai kasus adanya hubungan khusus antara mertua dan menantu yang terselubungi syahwat biologis.
Lalu bagaimana hukumnya jika keduanya bersentuhan dalam kondisi syahwat, dan apakah hal tersebut dapat membatalkan wudhu?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kita ingat landasan batalnya wudhu bagi laki-laki dan perempuan yang bersentuhan dalam nash Al-Qur’an yang berbunyi:
اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ
Artinya, “Atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci)”. (QS An-Nisa’: 43).
Dalam menta’wil kata 'lamsu', Imam As-Syafi’i mengartikannya dengan makna mulamasatus sughra yakni bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan. (Muhammad bin Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah], juz VI, halaman 82).
Ketentuan ayat berlaku bagi orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan, baik sebab nasab, radha', atau mushaharah karena terdapat dugaan kuat adanya rasa nikmat (taladzzud) dan potensi syahwat bagi orang yang bukan mahram. Sedangkan hukum bersentuhan bagi orang yang mahram adalah tidak membatalkan wudhu sebagaimana penjelasan Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi:
والرابع لمس الرجل المراة الاجنبية غير المحرم ولو ميتة
Artinya, “Yang keempat adalah menyentuhnya laki-laki pada perempuan lain, yakni wanita selain mahram meskipun telah meninggal.”. (Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, [Darul Kutub], halaman 56).
Pemahaman terbaliknya, menyentuh wanita yang berstatus mahram tidak sampai membatalkan wudhu.
Terkait alasan mengapa mahram tidak membatalkan wudhu ulama memiliki pandangan yang beragam. Di antaranya karena menganggap hubungan mahram adalah hubungan yang tidak berpotensi menimbulkan syahwat. Sebagian lagi berargumen karena mahram adalah orang yang tidak pantas untuk dijadikan objek kenikmatan (taladzzudz) dan syahwat. Ada juga yang berpendapat karena hubungan di antara mahram adalah hubungan yang tidak dilegalkan.
Hukum Menyentuh Sesuatu dalam Kondisi Syahwat
Allah menciptakan makhluk tidak untuk suatu kedurhakaan. Begitu juga dengan syahwat, Allah menciptakannya untuk sesuatu yang halal, bukan untuk hal yang haram.
Yang dimaksud syahwat halal adalah syahwat terhadap istri atau suami sebagai satu-satunya wujud kehalalan yang ditetapkan syariat. Karena itu, selain istri atau suami merupakan objek yang tidak halal untuk dijadikan sebagai pelampiasan syahwat. Baik dengan cara dipandang ataupun disentuh. Hal ini senada dengan argumentasi Imam Ar-Ramli yang disampaikan Syekh Sulaiman Al-Jamal:
وَالنَّظَرُ بِشَهْوَةٍ حَرَامٌ قَطْعًا مِنْ كُلِّ مَنْظُورٍ إلَيْهِ مِنْ مَحْرَمٍ وَغَيْرِهِ غَيْرَ زَوْجَتِهِ وَأَمَتِهِ اهـ شؤح م ر
Artinya, “Dan pandangan yang disertai syahwat terhadap setiap hal yang dilihat baik mahram, dan selainnya, selain istri dan budaknya hukumnya haram secara pasti”. (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyah Jamal 'ala Syarhil Manhaj, [Darul Kutub Al-Islamiyah], juz IV, halaman 122).
Dalam penjelasan tersebut Imam Al-Ramli menambahkan, hukum haram bersyahwat terhadap sesuatu yang tidak halal juga berlaku terhadap benda-benda mati (jamadat). Dengan demikian kiranya tidak aneh jika ulama melarang orang melihat atau bahkan bersentuhan meskipun dengan anak kecil jika disertai adanya syahwat.
Meskipun secara spesifik argumentasi di atas hanya menyebutkan tentang hukum melihat, tapi dalam hal bersentuhan ulama sepakat mengatakan hukumnya serupa dengan hukum melihat. Hal ini dikarenakan menyentuh memiliki dampak lebih signifikan daripada sekedar melihat.
Untuk lebih memperjelas batasan 'syahwat' yang dimaksud dalam berbagai kutipan penjelasan ulama, Imam Al-Subki menegaskan:
الْمُرَادُ بِالشَّهْوَةِ أَنْ يَكُونَ النَّظَرُ لِقَصْدِ قَضَاءِ وَطَرٍ بِمَعْنَى أَنَّ الشَّخْصَ يُحِبُّ النَّظَرَ إلَى الْوَجْهِ الْجَمِيلِ وَيَلْتَذُّ بِهِ
Artinya, “Yang dimaksud dengan syahwat adalah adanya pandangan bertujuan untuk memenuhi hasrat syahwat, dengan artian orang senang melihat pada wajah yang indah dan merasa nikmat dengannya”. (Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Darul Kutub Al-Islamiyah], juz IV, halaman 212).
Itu artinya, merasa enak saja tanpa harus sampai adanya pada dorongan perbuatan mesum atau berzina sudah dianggap masuk dalam kategori syahwat yang tidak dibolehkan.
Status Wudhu saat Menyentuh Mahram dalam Kondisi Syahwat
Sebagaimana dijelaskan, mertua merupakan salah satu mahram yang jika disentuh tidak membatalkan wudhu. Ketentuan ini berlaku baik bagi mertua kandung atau radha’. Baik bersentuhan disertai dengan syahwat atau tidak. Imam Al-Baghawi menjelaskan:
ولو لمس امرأة من محارمه بنسب او رضاع اوصهرته فقولان اصحهما لا ينتقض وضؤه - الى ان قال - وان قلنا بالاول فلا ينتقض وان كان شهوة كما لو لمس رجل رجلا بشهوة
Artinya, “Jika seorang pria menyentuh wanita dari para mahramnya baik sebab nasab, radha’ atau mushaharah, maka terdapat dua pendapat. Yang paling ashah mengatakan hal tersebut tidak membatalkan wudhu ... Jika kita mengikuti pendapat awal ini maka tidak batal wudhu orang yang menyentuh mahramnya meskipun dalam keadaan syahwat, seperti kasus jika pria menyentuh pria lain dalam keadaan syahwat”. (Al-Baghawi, Al-Tahdzib, [Maktabah Al-Mishriyah], juz I, halaman 303).
Alasan tidak batalnya wudhu orang yang menyentuh mahram meskipun dalam kondisi syahwat adalah karena hakikatnya Allah telah mengangkat syahwat dari orang yang memiliki hubungan mahram. Sedangkan timbulnya syahwat di antara mahram yang terjadi dianggap perasaan yang menyimpang dan keluar dari batas wajar naluri manusia.
Melalui uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa hukum menyentuh mertua meskipun dalam keadaan syahwat tidak membatalkan wudhu. Namun hukum menyentuhnya seperti itu dihukumi haram karena disertai unsur kenikmatan seksual. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar PP. Nurud-Dhalam Ganding Sumenep