"Tidak percaya," adalah kalimat yang serentak kami ucapkan seketika, meski hanya dalam hati, tidak lama setelah kabar duka tersiar di grup Whatsapp.
Inalillahi wa inna ilahi raji'un, Abah Noer mengembuskan napas terakhir pada Ahad (13/12) sekitar pukul 13:41 WIB, di Rumah Sakit Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Tidak ada yang lebih kehilangan daripada seorang santri yang ditinggal kiainya. Abah merupakan sapaan akrab kepada almarhum Dr KH Noer Muhammad Iskandar, SQ oleh kami para santri.
Terlalu sulit untuk percaya bahwa Abah telah pergi meninggalkan kami, selamanya, sesulit kami mengenang ribuan teladan Abah selama membersamai kami; santri-santri Abah yang saban hari ikut makmum shalat jamaah, mengamini air mata yang membasahi doa-doa, mendengarkan nasihat demi nasihat penuh takzim, dan masih banyak lagi.
Dalam kesehariannya, Abah dikenal sebagai kiai yang disiplin dan berkeyakinan kuat, meski beberapa tahun terakhir Abah harus memakai kursi roda untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan didampingi santri yang setia di mana pun dan kapan pun Abah berada. Saking istikamahnya, beliau tidak mengandalkan jam untuk melihat waktu menunjukkan pukul berapa, seolah sudah hapal. Bahkan saking disiplinnya, beliau sering menanyakan sudah jam berapa.
"Abah itu kalau jam dua dini hari pasti telepon saya, menanyakan apakah sudah jam tiga atau belum. Jika belum, biasanya Abah meninggalkan pesan agar mengingatkannya jika sudah jam tiga. Itu setiap hari seperti itu," tutur Amirul Mukminin, santri Abah Noer yang mengaku mendampingi Abah kurang lebih dua tahun.
Setiap pukul 03.00 WIB dini hari, Abah minta diantarkan ke masjid untuk shalat tahajud. Saat belum ada satupun santri yang bangun dan masjid masih gelap. Selesai tahajud, Abah melanjutkan membaca surat Yasin, Waqi’ah, seribu kali Shalawat Jibril, Ratib al-Haddad, dan dzikir-dzikir lainnya sampai tiba waktu Subuh. Sementara pendampingnya di belakang mengikuti dengan menggunakan pengeras suara masjid. Suara dzikir dini hari itu membangunkan para santri untuk bergegas ke masjid, shalat tahajud dilanjut shalat subuh. Begitulah cara Abah membangunkan para santri.
Selesai shalat subuh, Abah istirahat di ndalem (rumah). Pukul 08.00 biasanya Abah berjemur di bawah hangatnya sinar mentari pagi sampai kurang lebih 30 menit, lalu kembali istirahat di ndalem. Dalam kondisi tidak berpuasa, Abah enggan untuk sarapan pagi, hanya minum teh hangat dan makanan ringan. Abah cuma daharan (menikmati makan) dua kali; setelah Dzuhur dan sore menjelang Mahgrib.
Saat puasa Daud bahkan Abah hanya berbuka dengan air jahe hangat dan tiga biji kurma. Baru kemudian daharan setelah isya, dan seringnya tidak sama sekali, daharan saat saur saja. Artinya saat puasa Daud beliau hanya daharan satu kali saja. Sepertinya beliau tidak mau ibadahnya terganggu dengan kondisi perut terisi. Subhanallah.
Sekitar pukul 09.30 Abah ke masjid untuk melaksanakan shalat Duha berjamaah dengan para santri. Selesai Duha, Abah tidak lekas beranjak, biasanya membaca surat Yasin dan Waqi’ah dulu. Selesai dari masjid Abah istirahat sampai pukul 11.00 berangkat ke Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 6 di Serpong, Tangerang. Sepanjang perjalanan Abah hanya membaca dzikir sampai tiba di tempat tujuan. Itulah yang dilakukan Abah di dalam mobil setiap melakukan perjalanan. Sungguh lidah beliau selalu basah dengan dzikir. Entah berapa kali dalam sehari Abah membaca surat Yasin, tidak terhitung pokoknya.
"Abah baca Yasin itu sebanyak-banyaknya, entah berapa," tegas Amirul.
Abah biasanya menjadi imam shalat Dzuhur di Serpong dan dilanjut dengan mengajar kitab Tafsir Jalalalin. Setiap selesai ngaji, Abah tidak lupa untuk memberikan motivasi dan doa untuk santri-santrinya.
"Bagi anak-anakku, bersemangatlah belajar. Karena dengan belajar kita akan menjadi orang yang bermanfaat di masyarakat kelak. Saya doakan semoga ilmu yang kalian dapatkan manfaat. Saya selalu doakan agar santri-santri Abah berhasil," kata Abah setiap selesai ngaji.
Di Serpong Abah tidak hanya mengajar kitab Tafsir Jalalain pada para santri, tapi juga mengajar kitab Nashoihul ‘Ibad karya Syekh Nawawi Bantenpada guru-guru dan ustadz setelah Ashar. Sepertia biasa, selesai ngaji Abah selalu mendoakan para guru dan ustadz di ruangan pengajian.
"Semoga apa yang saya ajarkan, bisa kalian ajarkan juga ke santri-santri," doa Abah setiap selesai ngaji.
Abah biasanya menginap di Serpong dan pulang ke Asshiddiqiyah I (Kedoya) pada pagi harinya setelah shalat subuh. Ini adalah rutinitas Kiai Noer setiap hari Selasa dan Rabu.
Beberapa waktu ini, setiap hari Senin, Kamis, dan Sabtu, Abah rutin cuci darah di Rumah Sakit Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Saat cuci darah Abah pasti dalam kondisi berpuasa. Jadi, di samping istikamah puasa Daud, Abah juga selalu berpuasa saat menjalani cuci darah.
"Dengan berpuasa, cuci darah yang saya jalani ini malah jadi lancar," tegas kiai yang mendirikan 11 cabang Pesantren Asshiddiqiyah, berdasarkan informasi dari Nahrowi, santri yang mengaku selama setahun mendampingi Abah.
Saat ada jadwal cuci darah, Abah berangkat dari rumah Kedoya (Asshiddiqiyah I) sekitar pukul 06.00 WIB menuju rumah sakit. Selesai cuci darah langsung kembali ke Kedoya sekitar pukul 11.30 dan itikaf di masjid menunggu azan Dzuhur. Beliau memang kiai yang menjaga betul shalat jama’ah dalam kondisi apa pun. Dalam kondisi baru cuci darah saja yang seharusnya digunakan untuk istirahat, malah berangkat ke masjid satu jam lebih awal sebelum azan duhur berkumandang. Di Kedoya, Dzuhur biasanya pukul 12.30 WIB.
Sering jika dalam perjalanan dan sudah masuk waktu shalat, Abah minta dicarikan mushala atau masjid terdekat agar bisa shalat di awal waktu, dan tentunya berjamaah.
"Kalau shalat dijaga, Allah pasti akan memudahkan segala kita," tutur Abah sesuai laporan Amirul, santri asal Lampung yang sudah 10 tahun mesantren di Asshiddiqiyyah Kedoya.
Setiap hari Jumat, Abah melaksanakan shalat Jumat di Masjid al-Muchlisin,Pluit, Jakarta Utara. Masjid yang beliau dirikan sekaligus menjadi saksi sejarah awal perjuangan dakwah di Ibu Kota. Di Al-Muchlisin Abah juga punya rutinan ngaji kitab Tafsir Jalalain dan Birrul Wallidain bersama masyarakat setempat setiap hari Ahadpagi sakitar pukul 06.30 pagi. Ini bukti kesetiaan Abah pada tempat yang menjadi awal perjalanan dakwahnya di Jakarta. Selesai ngaji di Al-Muchlisin beliau biasanya melanjutkan ngajar Tafsir Jalalain dan Kifayatul Akhyar di Asshiddiqiyah 6, Serpong.
Abah adalah kiai yang tidak mengenal kata lelah. Baginya, kesuksesan harus dilalui dengan perjuangan.Kini Abah telah tutup usia dengan segala teladan dan jasa. Sebelas pesantren yang telah beliau dirikan dan para alumni yang tersebar di penjuru negeri dengan ragam profesi; dari yang menjadi kiai pengasuh pesantren, DPR, wartawan, dokter, pengusaha, dan profesi lainnya, adalah bukti ikhtiar dan doa beliau selama ini.
"Meski harus on time 24 jam, saya senang bisa bisa nderek (mendampingi) Abah. Karena Abah selalu berpesan, ‘Kalau mau sukses, ya harus mau berjuang," kenang Amirul.
Muhamad Abror, salah satu santri Kiai Noer Muhammaad Iskandar.