Choirul Anam (30 September 1954-9 Oktober 2023) atau kami memanggilnya ‘Cak Anam’ patut dikenang oleh kaum nahdilyin. Ia pernah menduduki beberapa jabatan penting di dalam NU, terutama di Jawa Timur. Tetapi, bagi saya, kontribusi terbesar Cak Anam adalah karya-karya tulisnya tentang NU. Dalam hal inilah sumbangannya melampaui ruang (ke-Jawa Timur-an) dan waktu karena sampai sekarang pun masih sangat berharga.
Bukunya, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, yang terbit pada 1986, disebut-sebut sebagai historiografi akademis pertama dari kalangan orang NU sendiri. Sebelumnya, karya semacam itu mengenai NU kebanyakan ditulis oleh “orang luar”, baik sarjana dari luar negeri maupun dalam negeri. Karya-karya tersebut umumnya bias dalam memandang NU, cenderung meremehkan dan menganggap NU tidak penting, serta banyak “menyalahkan” peran historis NU. Di sinilah pentingnya karya Cak Anam tersebut karena ia datang dengan tantangan terhadap kekeliruan-kekeliruan penilaian para sarjana sebelumnya.
Tentu saja Cak Anam tidak datang sekadar marah dan berteriak. Ia mengajukan sejumlah data yang sangat kaya. Saya ingat, misalnya, ketika ia mengkritik salah satu buku karya Deliar Noer yang tidak bisa membedakan antara KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dengan KH Muhammad Dachlan tokoh NU yang pernah menjadi Menteri Agama. Kekeliruan pembedaan itu berakibat pada sejumlah pandangan, di antaranya peran penting KH Muhammad Dachlan sebagai tokoh oposan Orde Lama dianggap mewakili organisasi lain, bukan merepresentasikan NU.
Baca Juga
Cak Anam yang Sejarawan itu
Buku Cak Anam itu menjadi undangan kepada para sarjana NU lainnya untuk meneliti dan menulis tentang NU dan merepresentasikan NU sendiri, bukan berharap kepada orang lain. Lantaran kekayaan datanya, buku Cak Anam juga menjadi rujukan para peneliti sesudahnya, termasuk para peneliti asing. Pada gilirannya, para sarjana asing pun mulai memandang NU secara lebih seimbang. Itulah kontribusi Cak Anam yang penting.
Yang menarik, buku itu bermula dari sebuah skripsi di IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya. Tapi kualitasnya sekelas disertasi, bahkan melebihi, setidaknya jika dibandingkan beberapa disertasi yang dibuat asal-asalan demi mengejar kenaikan pangkat belaka.
Ketika saya menulis tesis tentang Banser, saya juga banyak merujuk kepada salah satu karyanya, yaitu Jejak Langkah Ansor. Sama seperti bukunya tentang NU, buku ini juga kaya dengan data. Dari sana bisa direkonstruksi sejarah Ansor dan Banser. Salah satu hal yang membuat saya bertanya-tanya adalah dari mana Cak Anam mendapatkan data? Saya pernah menanyakan hal ini kepadanya. Jawabannya: data tersebut berasal dari seseorang yang pernah menjadi pengurus NU sampai kira-kira 1970-an, namanya Umar Burhan (kalau tidak keliru).
Mendorong Tumbuhnya Komunitas Intelektual NU
Cak Anam sebenarnya seorang jurnalis. Ia pernah menjadi jurnalis Tempo, Jawa Pos, dan memimpin Suara Indonesia. Dari sana, kebiasaan dan kemampuan menulisnya terasah. Selain kedua buku itu, ia menulis beberapa buku lain seperti pengalamannya mendampingi Gus Dur, sejarah GP Ansor, dan tentang sejarah PMII.
Pada awal 1990-an, teman-teman muda NU dari berbagai daerah sering berkumpul dan berdiskusi bagaimana mengembangkan NU secara lebih baik. Gus Dur yang muncul sebagai tokoh nasional banyak menginspirasi saat itu. Salah satu pertemuan pentingnya dilakukan di Malang, tepatnya di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Malangkucecwara. Pertemuan ini dimudahkan karena bantuan Cak Anam yang mempertemukan kami dengan almarhum KH Hasyim Muzadi (saat itu menjabat Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur). Kami tidak mungkin membiayai pertemuan, baik tempat maupun akomodasi, kalau tidak ada dukungan Cak Anam.
Saya ingat, pertemuan saat itu dihadiri oleh Lukman Hakim Saifuddin, Effendi Choirie, M. Imam Aziz, Ulil Abshar Abdalla, Abdul Mun’im Dz, Halim Mahfud, dan beberapa orang lainnya. Dari pertemuan itu, lahirlah LKiS di Yogyakarta dan Kelompok 164 di Jakarta, dan kemudian menyusul komunitas-komunitas serupa di berbagai daerah.
Setahun kemudian, kami membuat pertemuan sejenis di Jakarta. Cak Anam lagi-lagi datang sebagai salah satu narasumber, dengan biaya sendiri. Saat itu, di mata kami, Cak Anam adalah contoh senior yang sukses karena menjadi pimpinan harian Suara Indonesia yang menjadi bagian dari grup media Jawa Pos.
Demikian sekadar catatan dari saya. Mari doakan Cak Anam husnul khatimah dan menempati surga-Nya yang indah dan nikmat.
Penulis: Hairus Salim
Editor: Ivan Aulia Ahsan