Hari ini bangsa Indonesia, khususnya warga NU kehilangan seorang ulama teladan yang tidak saja tetapi juga bersahaja KH Dimyati Rois yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Dim. Beliau adalah sosok yang sangat sederhana dan pekerja keras. Meski posisi sosial politik beliau sangat memungkinkan, namun beliau tidak pernah memanfaatkan posisi tersebut untuk hidup berlebihan. Beliau bekerja keras menggarap tambak dan bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Masih terkenang saat kami bersama para dosen dan mahasiswa Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta melakukan sowan anjangsana ke kediaman beliau. Saat itu rombongan janji menghadap beliau pukul 13.00, tapi jam 13.45 rombongan masih berada di Batang. Perasaan kami gelisah, apalagi kondisi lalu lintas pada saat itu makin padat.
Menjelang pukul 16.00 kami baru sampai di Kaliwungu, Kendal sekitar pondok macet karena bersamaan dengan bubaran santri dan buruh yang pulang kerja. Tanpa menunggu memperoleh tempat parkir, rombongan minta turun di tepi jalan kemudian jalan kaki menuju kompleks pondok. Sampai di pondok kami disambut putra Mbah Dim dengan hangat dan akrab. “Abah sudah menunggu dari tadi,” kata putra beliau kepada kami.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Mbah Dim rawuh (datang), wajahnya bersih dan segar tanpa ada tanda-tanda rasa kecewa atau jengkel karena lama menunggu. Padahal kedatangan kami terlambat hampir 2 jam dari jadwal semula. Semua anggota rombongan cium tangan sambil memohon maaf atas keterlambatan kami. Mbah Dim tersenyum sambil berucap: mboten nopo-nopo pancen dalane nembe rame (tidak apa-apa, memang jalannya baru saja ramai).
Sosok Mbah Dim terlihat berwibawa dan alim hingga membuat kami semakin takzim kepada pada beliau. Namun sikap beliau yang lembut dan terbuka dalam menerima kami membuat kami merasa dekat dan akrab.
Setelah bersalaman, beliau mulai memberikan wejangan pada kami. Meski beliau seorang ‘alim dan ‘alamah namun sama sekali tidak kehilangan sikap tawadhu'. Ini dibuktikan dengan sikap beliau yang menyatakan bahwa sebenarnya beliau bukan ahli ilmu atau ahli sejarah. Selain itu, setiap hendak memberikan informasi beliau selalu menyatakan: "ini sumber yang saya terima dan saya pahami, tidak ada bukti-bukti tertulis atau catatan lain dari cerita ini. Silakan dicari bukti-bukti sejarahnya. Kalau ada bukti yang memperkuat ya silakan dipercaya, tapi kalau.ada bukti lain yang valid dan tidak sesuai dengan informasi ini ya cerita ini gak usah dipercaya". Beliau tidak menyatakan bahwa apa yang disampaikan mesti benar dan harus diikuti. Ini mencerminkan beliau adalah ulama yg tawadhu" yang menjunjung tinggi etika akademik.
"Ini cerita yang pernah saya dengar" demikian beliau memulai membuka lembaran sejarah yang terlipat. Pada suatu saat terjadi perjanjian antara beberapa ulama Nusantara yang ada di Makkah untuk melakukan istighosah dengan membaca doa Musabbi'at (membaca beberapa surat dari Al-Qur'an masing-masing surat dibaca tujuh kali). Istighosah ini akan dilakukan di Jawa. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya memperlancar dakwah Islam yang mengalami berbagai tekanan dari pemerintah kolonial serta upaya meminta pertolongan Allah atas kesulitan hidup yang dihadapi rakyat karena penjajahan.
Para ulama yang melakukan perjanjian tersebut adalah KH Kholil Bangkalan, Syekh Nawawi al-Bantani, KH Sholeh Darat Semarang, KH Abdul Halim Kaliwungu dan KH Anwar Batang sebagai tuan rumah. Pada saat yang dijanjikan, Syekh Nawawi berangkat dari Banten dan Kiai Cholil berangkat dari Bangkalan, keduanya bertemu di alas roban, Batang. Di tempat itu sudah ada Kiai Sholeh Darat, Kiai Abdul Halim dan kyai Anwar sebagai tuan rumah.
Setelah bertemu, para ulama Nusantara yang alim ini melakukan musyawarah, mulai dari soal agama sampai strategi dakwah menghadapi pemerintah kolonial. "Sekali lagi ini cuma sejarah tutur ya gak ada bukti tertulisnya, namun peninggalan yang berupa tempat mereka berkumpul Insyaallah masih ada" demikian kembali beliau mengingatkan. Beliau juga tidak bisa menjelaskan isi pertemuan dan pokok bahasan yang diperbincangkan karena memang tidak ada notulensi rapatnya.
Yang menarik, karena keasyikan musyawarah, tanpa disadari tiba-tiba waktu sudah menjelang shalat Ashar dan musyawarah belum selesai. Bagi Kiai Cholil dan Kiai Nawawi hal ini bukan masalah karena mereka musafir yang punya hak rukhsoh. Akhirnya musyawarah di skors untuk shalat zuhur. Saat ketiga ulama shalat, Kiai Cholil dan Kiai Nawawi berangkat ke Makkah karena ingin mengejar fadhilah shalat fi awalil waqtu. Pada sekitar pukul 15.03 tangan kanan Kiai Cholil dipegang Mbah Nawawi. Dalam sekejap mereka berdua sudah berada di Masjidil Haram Makkah. Waktu di sana menunjukkan pukul 11-an, belum masuk waktu zuhur.
Kemudian keduanya itikaf di masjid menunggu waktu zuhur. Setelah masuk waktu zuhur keduanya shalat zuhur dan ashar jamak taqdim kemudian balik lagi ke alas roban untuk melanjutkan musyawarah.
Meski beberapa kali Mbah Dimyati menyatakan ini hanya kisah lisan, tapi ini merupakan kisah penting yang perlu dicatat. Bagi kami benar tidaknya atau valid tidaknya cerita ini bukan sesuatu yang penting, yang terpenting adalah pesan moral dan hikmah yang ada di balik cerita ini. Selain itu kita juga tidak bisa melihat sejarah secara anacronis (mengukur kejadian masa lalu dengan kondisi kekinian) karena sikap seperti ini bisa menimbulkan kekeliruan dalam memandang dan memahami sejarah, demikian pendapat Prof Kiki (Hermawan Sulistyo) yang pernah disampaikan pada penulis.
Baca Juga
Profil Ahwa: KH Dimyati Rois
Pesan moral yang bisa diambil dari cerita ini adalah; pertama, kemampuan spiritual batiniyah bisa menembus dimensi ruang dan waktu. Kekuatan seperti ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang dekat pada Allah dan senantiasa menjaga kebersihan hati dan jiwanya dengan menjalankan amal shaleh. Dalam khazanah Islam Nusantara spiritualitas merupakan bagian dari ilmu sebagai pelengkap dari keterbatasan rasionalitas. Selain karena ada bukti faktual empiris, ilmu spiritual juga bisa dikembangkan dan diajarkan dengan metode yang jelas. Jadi dalam pandangan Islam Nusantara apa yang dilakukan oleh Kiai Cholil Bangkalan dan Kiai Nawawi al- Bantani bukan sesuatu yang mustahil, bahkan bisa dianggap suatu fakta empiris yang biasa terjadi.
Kedua, apa yang dilakukan Mbah Dimyati kepada kami merupakan transfer pengetahuan dengan cara-cara Qur'ani, metode kisah/cerita. Metode seperti ini banyak disebutkan dalam Al-Qur'an. Beliau ingin menunjukkan pada kami bagaimana akhlak, etika, dan keluhuran budi para ulama terdahulu dalam menjaga dan mengamalkan ajaran Islam baik dalam berhubungan dengan sesama ulama maupun dalam menjalankan amaliah ibadah. Melalui metode ini kita dirangsang untuk melakukan muhasabah, membaca realitas kekinian secara jujur tanpa merasa digurui. Pendeknya Mbah Dim telah memberikan cermin yang sangat bening dan jernih untuk bisa melihat diri dan kenyataan.
Ketiga, Mbah Dimyati ingin menunjukkan bahwa musyawarah merupakan tradisi para ulama tempo dulu. Meski beliau-beliau sudah alim, namun mereka selalu bermusyawarah untuk memutuskan persoalan. Ini berbeda dengan kondisi sekarang yang sudah jarang bermusyawarah, bahkan untuk memutuskan sikap dan pendapat organisasi. Akhirnya sulit dibedakan antara sikap dan pendapat organisasi dengan individu, karena pendapat organisasi ditentukan oleh individu. Inilah yang menyebabkan organisasi tidak solid dan bisa memancing timbulnya kontroversi. Suatu kritik yang tajam namun dengan gaya bahasa yang santun dan alegoris.
Setelah bercerita, Mbah Dim berpesan pada kami agar menghidupkan kembali budaya musyawarah seperti yang sudah dicontohkan oleh para sesepuh dan ulama kita dahulu. "Kalau anak muda diberikan kesempatan untuk meminta, maka mintalah musyawarah pada yang tua," demikian kata mbah Dim pada kami. Ungkapan yg penuh canda namun menyengat. (bersambung)
Al-Zastrouw Ng, Budayawan, Dosen Fakultas Islam Nusantara Unusia