KH Jailani Imam dalam sambutannya saat memberikan kesaksian menyampaikan bahwa sosok Kiai Ayip merupakan orang yang ahli shalawat. Ke mana-mana, ia mengajak jamaahnya yang tersebar di seantero Indonesia untuk bershalawat.
"Beliau senangnya membaca shalawatan. Jamaahnya tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan terakhir ketika umrah, di Makkah, di Madinah, beliau memimpin jamaahnya membaca shalawat Nariyah," katanya.
Kecintaannya pada shalawat ini juga yang almarhum pesankan kepada rekan-rekannya dan jamaahnya. Sastro Adi, Pengurus Pusat Pencak Silat Pagar Nusa, misalnya, menyampaikan satu pesan almarhum, yakni harus senantiasa bershalawat.
Sastro menjelaskan bahwa menurut Kiai Ayip, tanpa Kanjeng Nabi Muhammad SAW, kita bukanlah siapa-siapa dan bukan apa-apa.
Senada dengan Sastro, Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abdullah Wong juga mengatakan pesan yang ditangkapnya adalah istiqomah bershalawat.
"Dia bukan orang sok menasihati menggurui. Dia memberikan pesan beristiqomah bershalawat," ujar penulis novel Mata Penakluk, manaqib KH Abdurrahman Wahid itu.
Baginya, sosok Kiai Ayip sangat sederhana. Ia tak ingin menampakkan kekiaiannya dengan tampil berorasi di atas panggung, tetapi justru melebur dengan masyarakat.
"Bagaimana beliau dekat dengan anak yatim. Ditambah lagi geng motor. Itu menunjukkan keberagamaan sikap, bukan hanya semata menyitir ayat-ayat," pungkasnya.
Kiai Ayip pernah menempuh studi di Lucknow, Uttar Pradesh, India di bawah bimbingan Syekh Abul Hasan Ali Hasani An-Nadwi, seorang ulama tersohor dari Negeri Bollywood pada abad 20.
Khidmatnya pada NU ditunjukkan dengan keaktifannya sebagai Dewan Khos Pimpinan Pusat Pencak Silat Pagar Nusa dan pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU.
Pewarta: Syakir NF