KH Dimyati Rois salah seorang ulama sepuh di lingkungan Nahdlatul Ulama yang menjadi tujuan sowan Tim Anjangsangsana Islam Nusantara STAINU Jakarta pada Januari 2017 lalu. Selain memberikan banyak informasi sejarah, satu hal yang menjadi perhatian mendalam KH Dimyati Rois ialah para pemuda, khususnya anak-anak muda NU.
Perhatian Mbah Dim, begitu beliau karib disapa, tidak lepas dari kondisi para pemuda yang larut dengan modernisasi sehingga kerap melupakan ajaran dan kearifan para ulama. Seperti kegelisahan para kiai pada umumnya, Mbah Dim juga mengungkapkan jumlah ulama dan kiai kian hari makin berkurang.
Meskipun ilmu yang didapat para santri belum bisa menyamai sang guru, setidaknya mereka tidak melepaskan diri dari teladan-teladan para kiainya.
“Kian kemari para ulama khos yang mendekati kriteria kewalian kian berkurang. Saya berharap kepada generasi muda NU untuk mengikuti jejak lampah para ulama yang ikhlas itu, termasuk melanjutkan lakon dan tradisi riyadhah yang kerap dilakukan oleh para kiai,” harap Mbah Dim di Pondok Pesantren Al-Fadllu wal Fadlilah Kaliwungu Kendal, Januari 2017.
Para kiai zaman dulu, tutur Mbah Dim, ketika hendak melakukan sesuatu selalu diawali dengan istikharah, riyadhah atau tirakat, memperbanyak doa dan taqarrub kepada Allah, serta meminta restu para gurunya.
Perilaku tersebut terkait dengan keberkahan dan hadirnya kebaikan secara terus-menerus atas apa yang dilakukan kiai. Sehingga, tidak heran keberkahan selalu hadir. Hal ini bisa menjadi teladan di kalangan generasi muda untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
KH Dimyati Rois juga memberikan perhatiannya kepada para pengurus NU di berbagai tingkatan. Beliau tidak memungkiri bahwa dalam berkumpul dan berorganisasi, konflik kerap terjadi sehingga ia berpesan agar para pengurus NU selalu mengedepankan musyawarah.
Musyawarah yang dimaksud Mbah Dim ialah musyawarah yang mengutamakan penyelesaian masalah, bukan justru menambah masalah baru. Karena menurutnya, NU sedari dulu memiliki peran dan jasa besar untuk bangsa dan negara.
Menurut pandangan beliau, musyawarah yang baik akan memunculkan kondisi yang baik pula di tengah kondisi kebangsaan yang seringkali tidak stabil. Langkah tersebut penting untuk merapatkan barisan, mendekatkan hubungan, dan menyamakan persepsi antar sesama pemuka NU dan ulama yang sedari dulu mempunyai peran sebagai perekat bangsa.
Baca Juga
Profil Ahwa: KH Dimyati Rois
"Yang harus dilakukan adalah musyawarah," tegas Mbah Dim kala itu saat ditanya apa yang harus dilakukan oleh para ulama dan pengurus NU di tengah situasi umat Islam dan problem bangsa yang akhir-akhir ini kerap bergejolak.
Terkait sanad keilmuan KH Dimyati Rois, Pegiat Nahdlatut Turats, Ahmad Ginanjar Sya’ban mengungkapkan bahwa Mbah Dim meiliki kedekatan khusus dengan Abuya Dimyathi Banten.
"Di antaranya adalah ketika Mbah Dim belajar di Lirboyo Kediri, Abuya Dimyathi juga belajar di Jampes Kediri," ujarnya.
Ketika mondok di Lirboyo, Kiai Dimyati Rois belajar kepada KH Marzuqi Dahlan, sementara Abuya Dimyathi Banten belajar di Jampes kepada KH Ihsan Dahlan. Kiai Ihsan Dahlan merupakan kakak KH Marzuqi Dahlan Lirboyo.
"Ketika Mbah Dimyati Rois belajar di Sarang Rembang, Abuya Dimyathi juga pada saat yang bersamaan belajar di Lasem Rembang," jelas Ginanjar.
Hubungan keduanya semakin dekat ketika sama-sama meneruskan pencarian ilmunya di Kaliwungu Kendal. "Keduanya kemudian bertemu ketika sama-sama melanjutkan belajar di Kaliwungu Kendal," ungkap Filolog santri ini.
KH Dimyati Rois dikabarkan meninggal dunia di Rumah Sakit Tlogorejo, Semarang, Jawa Tengah pada Jumat (10/6/2022) pukul 01.13 WIB. Ia merupakan Mustasyar PBNU dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fadllu wal Fadlilah yang ia dirikan di Kampung Djagalan, Kutoharjo, Kaliwungu, Kendal pada 1985. KH Dimyati Rois lahir di Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes pada 5 Juni 1945.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan