Sebenarnya saya merasa ragu saat hendak memulai menulis obituari ini. Saya bukan lah orang dari lingkungan dekat Sapardi. Hubungan yang terjalin antara saya dengan beliau hanya sebatas mahasiswa dengan dosen. Mungkin kalau kami sempat bertemu kembali, Sapardi bakal lupa kalau saya ini mahasiswanya. Tapi sudah lah. Saya niati menulis obituari ini untuk menghormati beliau, guru saya. Biar bagaimana, ilmu yang saya transfer ke beberapa mahasiswa saya salah banyaknya bersanad dari Sapardi juga.
Pertama kali bertemu Sapardi mungkin sekitar tahun 2013. Saat itu saya masih berkuliah di FIB UGM. Di suatu pagi, sebuah taksi berhenti di depan pintu gerbang kampus. Seorang tua dengan topi pet keluar dari dalamnya. Dia berjalan agak terburu. Begitu berpapasan dengan saya di lobi kampus, dia mengajukan pertanyaan. “Ruang dekan di mana?” Saya yang kaget dan gugup kemudian menunjuk ke arah selatan. “Itu, di dalam, Pak.” Orang tua itu segera berlalu. Saya yang cupu masih memandangnya dari jauh. Dari topi pet yang sangat melekat dengan karakter pemakainya, saya langsung sadar. Itu Sapardi Djoko Damono si sastrawan besar!
Beranjak ke tahun 2015. Waktu itu, saya sudah pindah kampus di UI. Saya berada di “rumahnya” Sapardi. Di semester kedua, saya mendapatkan pelajaran langsung dari beliau. Sapardi mengajarkan mata kuliah “Alih Wahana”. Kalau versi kampus Barat, mata kuliah ini mungkin lumrah disebut Adaptation. Frasa “Alih Wahana” adalah frasa bikinan Sapardi sendiri. Saat saya tanya, kenapa pakai frasa tersebut, beliau menjawab, “Ya karena saya milihnya itu. Mungkin di luar ada juga orang lain memakai istilah lain. Gak papa juga,” begitu katanya.
Ada satu kejadian yang saya ingat betul sampai sekarang. Ketika itu, Sapardi sedang mempresentasikan materi menggunakan slide show di depan kelas. Laptop dia letakkan di meja dosen. Sementara beliau berdiri di sisi kiri kelas. Yang saya dan temannya saya heran, saat itu slide presentasi berpindah sendiri. Padahal laptop tergeletak manis tanpa ada yang mengoperasikan. Usut punya usut, Sapardi menggeser slide presentasi dari jarak jauh menggunakan smartphone. Saya yang katrok bersama teman saya seketika terkesiap. “Gilak, Pak Sapardi udah tua tapi masih melek teknologi!” begitu kami terkagum.
Selepas saya lulus kuliah, perjumpaan saya dengan Sapardi setelahnya hanya lewat seminar, diskusi, dan talkshow yang beliau isi. Ada satu momen yang masih membekas di pikiran saya. Tahun 2017 di akhir pekan. Saat itu di FIB UI sedang ada acara ulang tahun Cak Tarno Institute atau CTI. CTI adalah forum diskusi yang digerakkan oleh Cak Tarno, seorang penjual buku yang akrab di kalangan mahasiswa. Pengisi utama acara ulang tahun CTI adalah Sapardi. Di luar perkiraan, sore itu hujan deras mengguyur UI. Air menyiprat ke mana-mana di ruang kios buku Cak Tarno, tempat acara terselenggara.
Cak Tarno pontang-panting beres-beres tempat. Pengunjung berhimpit saling menyelamatkan diri dari cipratan air. Di tengah suasana yang hiruk-pikuk dan ramai suara hujan, Sapardi masih duduk tenang. Tidak ada raut kecewa dari beliau, meskipun suasana saat itu menjadi kurang kondusif. Beliau tetap anteng dan lanjut berdiskusi bersama pengunjung. Wau! Ini Sapardi yang sering tampil di forum-forum diskusi mentereng. Beliau masih berkenan berhimpit-himpit dengan mahasiswa di sebuah kios buku kecil. Saya menyaksikan sebuah kebersahajaan dalam sosok guru saya sore itu.
Memasyarakatkan Puisi
Dalam bukunya Sihir Rendra: Permainan Makna, ada satu artikel berjudul “Puisi Kita Kini” yang ditulis Sapardi pada tahun 1988. Dalam artikel tersebut, Sapardi menyoroti tentang puisi yang lingkup bacanya sangat sempit. Menurut Sapardi, saat itu penerbitan buku puisi adalah proyek rugi. Hanya satu atau dua saja yang bisa memberikan sumbangan keuntungan bagi penyair. Gambaran ini merupakan bukti bahwa masyarakat kita ini bukan pembaca puisi.
Meski demikian, Sapardi juga menemukan sebuah fenomena lain. Walaupun bukan pembaca puisi, masyarakat kita ini ternyata pendengar puisi. Hal tersebut dibuktikan dengan ramainya pengunjung saat W. S. Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri menggelar pementasan. Rendra membaca sajaknya dengan teatrikal, sementara Sutardji membaca sajaknya dengan orisinil. Pada akhirnya, pembacaan puisi menduduki peran yang semakin menonjol dalam perkembangan puisi kita.
Entah disengaja atau tidak, pola sejenis juga saya temukan pada sajak Sapardi yang berjudul “Hujan Bulan Juni”. Sajak ini Sapardi tulis pada tahun 1989. Sajak tersebut kemudian menjadi judul buku kumpulan puisi Sapardi yang terbit di tahun 1994. Pola pembacaan puisi terjadi pada sajak ini. Adalah Ari Malibu dan Reda Gaudiamo, dua mahasiswa Sapardi yang melantunkan musikalisasi terhadap sajak ini. Dalam acara Makassar International Writer Festival 2017, dengan rendah hati Sapardi berujar enteng, “Ah, sajak ini jadi terkenal kan gara-gara dinyanyikan saja sama Ari-Reda.”
Kalau pada tahun 1988 Sapardi menuliskan bahwa pembacaan puisi berperan terhadap perkembangan puisi kita, “Hujan Bulan Juni” bagi saya sudah melebihi itu. Tahun 2011, “Hujan Bulan Juni” dikomikalisasi oleh komikus Mansyur Daman bersama Beng Rahadian. Komik “Hujan Bulan Juni” diterbitkan dalam majalah komik Comical Magz. Tidak berhenti di komik, “Hujan Bulan Juni” juga dialihwahanakan menjadi novel oleh Sapardi sendiri di tahun 2015. Tidak hanya satu, tapi tiga jilid novel.
“Hujan Bulan Juni” menjelma menjadi buku mewarnai di tahun 2016. Gambar-gambar hitam putih dalam buku ini dikerjakan oleh mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut Kesenian Jakarta. Pada tahun 2017, “Hujan Bulan Juni” juga dijadikan film. Tokoh utama film ini adalah Adipati Dolken sebagai Sarwono dan Velove Vexia sebagai Pingkan. Sapardi sendiri ikut bermain sebagai Bapaknya Sarwono.
Buku kumpulan sajak Hujan Bulan Juni sendiri dicetak ulang pada tahun 2013. Per bulan Maret 2020, buku kumpulan sajak Hujan Bulan Juni sudah masuk ke cetakan 12! Sebuah angka yang tidak sedikit untuk buku kumpulan sajak.
“Hujan Bulan Juni” berhasil menembus tesis Sapardi di tahun 1988. Sajak ini tidak hanya dibaca, tapi diinterpretasikan dengan berbagai medium yang berbeda. Saya rasa, apa yang dilalui Sapardi bersama “Hujan Bulan Juni” akan susah terjadi pada penyair Indonesia kebanyakan. Banyaknya alih wahana terhadap sajak ini membuktikan bahwa Sapardi bisa membuat sebuah sajak begitu dicintai masyarakat. Sapardi telah berhasil memasyarakatkan puisi.
Ahad, (19/7) kemarin, Sapardi telah berpulang. Profesor sastra yang akrab disapa Eyang oleh penggemarnya itu telah memberikan teladan yang berarti bagi masyarakat Indonesia. Sampai akhir usianya, Sapardi masih sangat produktif menulis. Semoga teladan Sapardi senantiasa menginspirasi kita para pembacanya.
Selamat jalan, Tuan Penyair! Yang fana adalah waktu, kita abadi.
Muhammad Daniel Fahmi Rizal, Dosen Sastra dan Komikus, Alumni Pesantren Ciganjur