Opini

6 Jam Soeharto Berjasa, Bagaimana 290 Ribu Jam Sisanya? Catatan untuk Fadli Zon

Kamis, 6 November 2025 | 20:51 WIB

6 Jam Soeharto Berjasa, Bagaimana 290 Ribu Jam Sisanya? Catatan untuk Fadli Zon

Soeharto sebagai salah seorang yang diusulkan sebagai pahlawan nasional tahun ini (Ilustrasi: NU Online/Aceng Darta)

Bung Fadli Zon, pakar tingkat dewa ihwal rehabilitasi sejarah mengumumkan sesuatu yang bikin banyak orang hampir tersedak kopi, “Soeharto tidak pernah terbukti melakukan genosida atau pelanggaran HAM,” ungkapnya.


Lega! 52 tahun berlalu, datang para pemberani yang penuh percaya diri bilang, masa kelam Orde Baru cuma ilusi nasional. Prank membabi buta. Omong kosong belaka.


Negara besar yang jempolan. Gampang lupa, berat akui kesalahan.


Bung Fadli bilang, Soeharto berjasa besar lantaran memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949. Bapaknya Pembangunan. Betul. Tapi kalau “pahlawan” diukur dari pembangunan, mungkin saja suatu hari kontraktor jalan tol yang dapat proyek hasil nyogok dan doyan judi, ketika wafat bisa juga dikubur di taman makam pahlawan. 


Jadi, ini bukan soal jasa karena pembangunan, tapi ingatan kolektif bangsa di mana Soeharto memang bangun banyak hal. Termasuk bikin teror dan ketakutan. Ia bikin tol demi stabilitas, tapi setiap pos tolnya dijaga tentara bersenjata lengkap.


Dan setiap kali rakyat pakai jalanan, lalu ditanya karcisnya, mereka diingatkan bahwa harmoni nasional lebih penting dari pertanyaan soal keadilan.


Ketika NU Disuruh Diam
NU ini hebat. Kita memang hebat. Ambil contoh di tahun-tahun awal Orde Baru, NU masih ikut bantu Soeharto melawan PKI. Tapi begitu PKI selesai, ternyata NU juga disuruh pensiun dini dalam politik. “Depolitisasi NU,” kata kaum intelektual. “Duduk manis saja, nanti juga dapat giliran, ini urusan bapak” kata penguasa.


Pesantren diawasi. Organisasinya dikerdilkan. Bahkan kiai-kiai yang terlalu vokal dikunjungi aparat dengan alasan “silaturahmi”. Kadang mereka datang malam-malam, bukan belajar ngaji kitab tapi bawa beceng.


Tapi, tentu, ini bukan pelanggaran HAM. Ini hanya “bimbingan ideologis” buat para tokoh NU.


Kita tahu, Serangan Umum 1 Maret 1949 hanya berlangsung enam jam. Tapi stabilitas ala Soeharto berlangsung 32 tahun. Fadli Zon bilang, serangan enam jam itu alasan utama ngasih gelar pahlawan. Wajar. 


Operasi enam jam yang luar biasa. Tapi bagaimana 290 ribu jam berikutnya?


Apakah setiap jamnya penuh pengabdian, atau penuh teror dan operasi pengawasan dan intimidasi?


Pada 12 September 1984, jamaah di Tanjung Priok gelar protes kebijakan pemerintah soal asas tunggal. Polisi datang, tentara datang, peluru menghujam.


Korban jatuh. Banyak tak pernah kembali hingga hari ini. Tapi pemerintah kala itu bilang jumlahnya “tidak seberapa.” Dalam statistik Orde Baru, manusia seringkali dikonversi jadi “bilangan untuk situasi kondusif”. Sekali lagi, ini bukan pelanggaran HAM, tapi “menjamin ketertiban sosial”.


Di masa Soeharto, kita belajar satu kosakata baru untuk kamus politik Eufemisme Nasional. Korupsi disebut penyimpangan administrasi. Pembunuhan disebut peristiwa. Pelanggaran HAM disebut isu politik. Pembantaian diartikan demi ketertiban sosial. Dan pembungkaman disebut pembinaan. Operasi militer dimaknai menjamin stabilitas politik. 


Fadli Zon tampaknya fasih memilih diksi. Ketika bilang “tidak terbukti,” yang ia maksud mungkin, “belum sempat diadili.”


Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah bilang, “Soeharto punya jasa besar tapi dosanya juga besar.” Gus Dur hidup di masa NU dianggap “berbahaya” karena terlalu banyak menggugat kebijakan yang tidak adil.


Kalau alim ulama bicara soal demokrasi, mereka dituduh subversif. Kalau para kiai bicara soal rakyat, mereka disuruh kembali ke kitab kuning. Tapi Gus Dur terus mengajukan pandangan terkadang lewat humor, kadang sindiran, kadang diam yang satir. Dalam politik Orde Baru, diam pun bisa dianggap makar.


Soeharto dianggap berhasil jaga stabilitas. Tapi stabilitas macam apa yang membuat rakyat takut menyampaikan pendapatnya sendiri? Rezim Soeharto tanpa pengadilan memenjarakan orang. Seperti Mahbub Djunaidi, Ketua Pertama PB PMII yang kemudian menjabat Ketua PBNU sekaligus Pemred Duta Masjarakat. Bung Tomo, pejuang kemerdekaan yang membakar perlawanan di Surabaya dengan pekik Allahu akbar yang dahsyat itu. Padahal mereka bukan maling apalagi koruptor. 


Kondusivitas masa Orde Baru adalah sakral. Jangan bikin gaduh. Jangan banyak tanya. Jangan lupa bayar pajak.


Fadli Zon mungkin benar. Belum ada pengadilan yang memutus Soeharto bersalah atas genosida. Tapi, mari jujur, siapa yang berani menyidang presiden di zaman di mana dia masih berkuasa penuh?


Sebelum dilengserkan, Gus Dur akan memproses Soeharto ke pengadilan, namun tertunda karena pertimbangan kesehatan Soeharto yang menurun.  


Di negara ini jika tidak ada bukti, seringkali jadi kilah bahwa tidak boleh ada bukti. Arsip dihapus. Saksi dibungkam. Korban dituduh komunis dan anti-pembangunan. Dan begitu semua diam, barulah pemerintah berkata, “Lihat? Aman. Tidak ada pelanggaran.”


Pahlawan Nasional, kata undang-undang, adalah seseorang yang berjasa besar dan tak tercela. Tapi bagaimana kita nilai “tak tercela” kalau Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon berlagak tidak tahu celanya? 


Kalau pelanggaran dianggap prestasi, maka sejarah kita akan penuh pahlawan tanpa penjahat. Padahal tanpa penjahat, pahlawan adalah legenda karangan biografis yang dibikin para penjilat.


Antara Heroisme dan Nostalgia
Sebagian bilang, lagi-lagi Soeharto pahlawan karena ekonomi tumbuh. Benar. Tapi rumah tangga negara yang korup juga bisa “tumbuh” dengan cara menyembunyikan utang di bawah karpet.


Soeharto bikin Indonesia stabil, tapi stabil seperti beton keras, dingin dan menjadikan rakyatnya tumbal. Ia bangun jalan dan jembatan, tapi menutup banyak jalan keluar dan menghancurkan jembatan kemerdekaan rakyatnya sendiri. Ia menciptakan ketertiban, tapi dengan cara membuat rakyat merasa terancam.


NU, Santri, dan Kenangan Gelap
Tidak semua tembang kenangan bercerita manisnya cinta. NU punya kenangan kelam tentang Soeharto. Tidak semuanya manis. Di masa itu, santri tidak hanya belajar tafsir, tapi juga belajar tidak komentar politik. Setiap ceramah harus berhitung antara menyampaikan pesan agama di bawah pengawasan dan ancaman. Setiap pengajian bisa jadi laporan pihak keamanan.


Namun, di balik tekanan itu, NU justru menemukan kekuatannya. NU belajar, negara tidak bisa memonopoli agama. Belajar, diam bisa jadi bentuk perlawanan. Dan para tokoh NU belajar, sebagaimana Gus Dur, Mahbub Djunaidi dan para kiai lakukan bahwa berpolitik dengan humor dan lelucon bisa lebih tajam dari pedang.


Sementara itu, para korban Orde Baru, baik di Aceh, Papua, Tanjung Priok, Talangsari, Losarang maupun peristiwa 1965 masih hidup dalam catatan kaki sejarah gelap. Mereka tidak masuk daftar undangan ketika wacana “gelar pahlawan” diumumkan. Dan di antara mereka sekarang hanya menonton dari jauh, mungkin sambil bertanya, “Kalau pelaku sudah jadi pahlawan, kami siapa?”


Tidak ada jawaban. Karena bangsa ini gandrung upacara, tapi takut akui kesalahan. Seandainya Soeharto benar-benar diberi gelar pahlawan, saya hanya berharap satu hal, tolong undang juga para korban ke Istana. Biar mereka tahu sejarah negeri ini tidak ditulis dengan cara baik-baik saja.


Tembak dapat medali. Sasaran tembak dikirim doa. Soal letak dikubur? Misterius dan senyap!


Era Soeharto, setiap siswa wajib hafal Pancasila. Tapi Pancasila hanya slogan sambil “melupakan masa lalu demi stabilitas nasional dan pertumbuhan.” Kita hafal “kemanusiaan yang adil dan beradab,” tapi lupa bahwa adil berarti berani mengingat siapa yang pernah berlaku biadab.


Benar Soeharto punya jasa besar. Tapi kalau semua penguasa yang berjasa langsung dapat gelar pahlawan, maka nanti, siapa pun yang bikin bandara besar, rumah sakit besar atau markas besar juga bisa ikut daftar “punya jasa besar”.


Barangkali ini bentuk baru demokrasi kita. Setiap rezim menulis ulang sejarahnya sendiri. Lengkap dengan sertifikat kepahlawanannya. Dan setiap kali generasi baru tanya, kita jawab, “Itu masa lalu. Jangan diungkit dan dibuka-buka.”


Catatan untuk Fadli Zon
Jadi, Bung Fadli, jika Bung benar-benar menghormati dan kagum pada Soeharto, hormatilah juga para korban rezimnya. Kalau Bung ingin menulis sejarah, tulislah dengan tinta kebenaran. Dan kalau bicara soal “tidak ada bukti”, cobalah berkunjung ke Tanjung Priok, Aceh, atau pesantren-pesantren NU yang dulu diintai dan diintimidasi. Di sana Bung akan menemukan bukti tidak tertulis tapi tertanam dalam kenangan.


Setiap kali kita jujur, selalu ada yang ingatkan, “Jangan ganggu ketertiban umum.” Tapi, tanpa kejujuran, “ketertiban” hanya nama lain dari ketakutan. Dan tanpa keberanian kita akan terus memberikan medali kepada bayangan kelam, sambil membunuh hakikat kemanusiaan.


Kiai Said Aqil Siroj yang nyantri di Pesantren Lirboyo cerita ketika Soeharto memberikan akses listrik Pondok Lirboyo tahun 1971. 


Sekitar sebulan menjelang pemilu dalam suasana politik genting, Pangdam Brawijaya Jawa Timur, Letjen. Wahono resmikan akses listrik dihadiri seluruh Dandim dan Danramil se-Jawa Timur. 


Di hadapan tamu undangan, ketika menyampaikan sambutan, Kiai Machrus Aly yang sangat karismatik itu dengan tenang berkata dalam pidatonya, “Terima kasih kepada Pak Harto yang telah memberikan hadiah pada Lirboyo berupa listrik yang kalau dengan biaya kami sendiri bisa mencapai ratusan juta, bahkan mungkin miliaran.” 


Setelah berterima kasih dan mendoakan, Kiai Machrus melanjutkan, “Tapi dengan syarat. Tidak ada tendensi politik. Kalau ada, silakan cabut kembali akses listrik itu sekarang!”


Abi S Nugroho, pengurus Lakpesdam PBNU