NU sebagai organisasi yang berasaskan Ahlussunnah wal Jamaah memandang tujuan agama sebagai fondasi berkehidupan antarsemua bangsa. (Foto: NU Online)
Tak dapat disangkal, jika NU merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sangat sedikit sekali, sebuah organisasi dapat eksis sampai satu abad, terlebih lagi dapat sustain dan survive. NU sudah melewati multidimensi sejarah, mulai dari zaman penjajahan, kemerdekaan, orde baru, dan era reformasi sampai saat ini.
Asam manis perjalanannya sudah dilalui dengan berbagai identitas yang membuat NU kenyang pengalaman dan pahitnya tantangan. Yang kita lihat sekarang, NU bukan semakin redup atau menyusut, malahan ia semakin berkibar dan diperhitungkan di setiap peristiwa besar di republik ini.
NU sebagai organisasi keagamaan bernafaskan Islam, ia menggunakan hitungan penanggalan Islam yaitu hijriah. Lahir pada era kolonial pada 16 Rajab 1344 H, tepat sudah 100 tahun saat ini pada 1444 H bertepatan 7 Februari 2023. Kini NU sudah memasuki abad kedua yang penuh dengan tantangan globalisasi.
Ungkapan suka cita itu diluapkan nahdliyin dengan rasa syukur tidak hanya di Indonesia tetapi juga menyeruak seantero dunia. Sungguh, nikmat tiada terkira yang patut dibanggakan karena tidak semua organisasi bisa mencapainya, terlebih melekat pada organisasi keagamaan.
Banyak statemen yang menyatakan, berkahnya NU tidak hanya untuk Indonesia melainkan ke seluruh dunia. Dunia melihat NU sebagai suatu organisasi yang layak diperhitungkan karena massa yang besar dan merata di Indonesia bahkan beberapa negara. Ini tidak terlepas dari NU lahir dari kebangkitan ulama, menyatu dengan kultur budaya.
Budaya keislaman yang seolah-olah menjadi satu dalam nafasnya. Budaya itu sebuah kebiasaan berulang-ulang yang tidak akan cepat hilang, ia akan masuk dalam relung-relung kehidupan yang makin lama makin melekat dalam nafas kehidupan. Lalu, dari Indonesia, ia menyebar ke seluruh dunia yang dibawa oleh para pekerja dan pelajar memberi manfaat seantero jagat.
Perdamaian dunia
Islam, sesuai dengan arti namanya, ia membawa keselamatan bagi dunia. Esensi agama adalah memberikan kedamaian bukan peperangan dan perselisihan yang tiada akhir. Di dalam Islam sendiri, tujuan agama yang lebih popular dengan maqhasidus syariah turut mengejawantahkan sendi-sendi kehidupan dalam tujuan beragama. Menjaga agama, nyawa, harta, keturunan dan akal merupakan tujuan utama kehidupan beragama. Ketika semua itu tercapai, maka dunia dipastikan lebih damai dan agama benar-benar menjalankan fungsinya.
NU sebagai organisasi yang berasaskan Ahlussunnah wal Jamaah memandang tujuan agama sebagai fondasi berkehidupan antarsemua bangsa. Ia memegang teguh Islam yang tawasuth dan tawazun; moderat dan jalan tengah, artinya tidak terlalu ke kiri atau pun ke kanan. Berkaca pada sejarah masa lalu, egosentris kebangsaan yang dulu pernah kuat di dunia menjadi momen yang mengerikan bagi kemanusiaan.
Adolf Hitler dengan Nazi-nya dengan slogan antisemith membuat jutaan umat Yahudi tewas. Duka itu akan terus menyayat hati dan menimbulkan kebencian turun-temurun yang susah dihilangkan. Tidak ada suku atau bangsa yang merasa paling hebat dan unggul di dunia ini, semuanya berkedudukan sama. NU dengan tasamuhnya, mengajarkan arti pentingnya toleransi antarsemua bangsa di dunia, bahwa kita adalah sama sebagai hamba di mata Tuhan.
Islam merupakan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Perlu ditekankan lagi, bahwa Islam itu memberi keberkahan tidak hanya bagi umat Islam semata tetapi bagi semua manusia. Dari situlah dasar NU menjadi lentur dan lunak, tawazun atau seimbang dalam segala hal. Di mata NU, Islam merupakan agama menjadi ramah untuk semua orang bukan yang membuat remeh.
NU bukan tipikal Islam yang sedikit-sedikit mengafirkan, mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul bagi pemeluk agama lain. Akan hilang esensi beragama, jika agama malah menjadi alat peperangan bukan pembawa kedamaian. Maka tak salah, jika kesepakatan ulama sedunia dalam Muktamar di Chechnya pada 25 Agustus 2016 yang mengeluarkan Wahabi dari bagian Ahlussunnah wal Jamaáh. Begitu berbahaya sekali kalau ada yang merasa lebih benar dari yang lain, sehingga memandang apatis yang nantinya menjurus ke anarkis.
Peradaban baru
Pada momentum yang bersejarah ini pula, NU tidak mau ketinggalan membuat tonggak sejarah baru, mengingat dia akan menapak di abad baru. Tonggak bersejarah itu lah yang bernama fiqih peradaban, sebuah gagasan fikih baru tentang sebuah konsensus pemahaman peradaban baru. Fiqih ini muncul dari masalah besar dan sepertinya masih mengakar kuat di beberapa negara muslim tentang negara khilafah.
NU menganggap khilafah dianggap sudah tidak lagi relevan dengan peradaban baru. Malahan ia membuat era yang semakin menakutkan dengan menghadap-hadapkan Islam dengan barat. Berkaca pada ISIS, tujuan awalnya khilafah yang ingin menyatukan semua umat Islam, berbalik menjadi alat pemecah sebuah peradaban. Ini berarti tujuan agama sudah tidak dapat dicapai, tetapi seakan dirusak.
Perlu diakui, bahwasanya jika di Indonesia, Islam menjadi mayoritas seolah-olah nyaman dengan ke-mayoritasannya maka berubah 180 derajat kalau kita berada di Barat. Inilah yang menjadi bahan diskursus, kenapa perlunya fikih peradaban, bukan berarti tidak setuju dengan fikih klasik atau bahkan terkesan merubah nash.
Kajian khilafah esensinya masuk dalam bidang siyasah syariah atau politik Islam. Siyasah merupakan term muamalah hubungan antar manusia dalam syariah Islam yang masih abstrak dan luas. Artinya tidak ada aturan pasti dan detail tentang bentuk sebuah negara. Implikasinya, pintu ijtihad terus terbuka sampai saat ini.
Lebih riskan, politik yang tujuannya suci dan bermanfaat bagi orang banyak tetapi dijadikan kendaraan atau dimanfaatkan salah satu pihak. Islam dijadikan sebuah label dari pembenaran untuk mencapai tujuan tertentu. Lebih ideal, jika substansi nilai-nilai Islam diaplikasikan dalam politik tanpa melabelkan agama pada kendaraan politik tertentu.
Lebih lanjut, fiqih peradaban ini berupaya membuat rekonstruksi baru dalam sebuah dimensi, yaitu dimensi kedamaian. Unsur-unsurnya berupaya menghindari eksploitasi identitas, dengan mengunggulkan semangat kebersamaan dalam perbedaan. Ia menginginkan kebencian dikikis habis dan dihindari supaya tidak muncul ke permukaan.
Faktanya sampai saat ini, polarisasi akibat pertarungan politik masih terasa bahkan membuat sekat yang menganga. Politik yang tujuan memberikan kemanfaatan berubah menjadi kemafsadatan. Muaranya kepentingan masyarakat yang akhirnya ditinggalkan terlebih lagi dinihilkan.
PMI dan Diaspora
Saat ini, NU telah mempunyai cabang di lima benua dan 34 negara yang disebut dengan istilah PCINU (pengurus cabang istimewa NU). Sebagai organisasi keislaman, capaian ini bisa dibilang luar biasa dan mungkin belum ada organisasi lain yang menandinginya.
NU dengan lebih kurang 95 juta jiwa pengikutnya bisa dikatakan sebagai organisasi keagamaan terbesar di dunia. Aset besar berupa SDM akan menjadi kekuatan di tingkat global terlebih internasional. Yang akhirnya nanti NU bisa menjadi kekuatan pemersatu yang layak diperhitungkan di dunia.
PCINU didirikan dan ditopang kuat oleh para pekerja migran Indonesia (PMI) dan diaspora. Merupakan sebuah fakta, PMI menjadi pahlawan devisa yang nantinya mereka akan memperkuat kembali Indonesia. Di luar negeri, contohnya PCINU Malaysia, PMI menjadi lokomotif perjuangan Aswaja dari gempuran budaya-budaya Barat.
PCINU seakan menjadi tiang pengikat mereka dari kehausan ritual ibadah yang biasanya akan mudah ditemui di Indonesia. Ritual tahlilan, istighotsah menjadi perekat PMI seakan-akan mereka masih masih tinggal di Indonesia. Mereka bahkan menjadi penyebar tradisi NU menyebar ke seluruh pelosok dunia. Terbukti, mereka pun bisa mendirikan pondok pesantren dan Pendidikan formal. Berduyun-duyun warga asal belajar sehingga mereka mengenal apa itu NU. Mirip sekali dengan Wali Songo, NU menyebar dengan damai lewat akulturasi dan asimilasi.
Selain itu, PCINU didirikan oleh diaspora yang terdiri dari mahasiswa, bahkan mayoritas adalah penerima beasiswa bergengsi. Mereka merupakan bibit-bibit unggul, tidak hanya di atas rata-rata kecerdasannya, tempaan di luar negeri menjadikan mereka manusia yang tahan banting sekaligus visioner. Ini merupakan modal sumber daya manusia, tidak hanya membangun NU tapi menjadikan Indonesia lebih bisa bersaing dengan bangsa maju lainnya.
Inilah NU dengan peradaban barunya. Dimulai dengan kegigihan PMI nya, diperkokoh dengan kecerdasan diasporanya. Peradaban baru lahir dengan damai, menghilangkan sekat kebencian. Menghilangkan perbedaan, lebih memunculkan rasa persamaan. Maka perdamaian dunia ada di genggaman tangan. Suatu saat, penulis meyakini, NU bisa menjadi ambil bagian dan akan menjadi salah satu organisasi yang diperhitungkan di dunia.
M. Fuad Hadziq, Wakil Ketua PCINU Malaysia bidang Hubungan Internasional