Muncul pertanyaan, tepatkah antara keduanya dipertentangkan? Bisakah agama dijadikan panduan buat umatnya agar terhindar dari suatu penyakit? Mari kita lacak hubungan keduanya dalam relasi filosofis.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama. Ada yang menyebutnya sebagai makhluk rohani. Berbeda dengan binatang dan juga tumbuhan, murni sebagai makhluk jasmani (fisik). Karenanya, sejak lahir sejatinya manusia sudah "ber-Tuhan", mengingat dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan (ruh).
Pada saat yang sama, manusia juga terdiri dari unsur jasmani. Setiap jiwa manusia bersemayam dalam format fisik (jism). Wajar kiranya manusia membutuhkan pangan, sandang, dan papan untuk menjaga keberlangsungan hidupnya.
Jika salah satu dari ketiga unsurnya tidak terpenuhi, maka manusia akan ada gangguan. Artinya manusia bisa terkena penyakit. Hanya saja, menurut para medis, unsur tertinggi dari timbulnya penyakit lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pangan. Tak terkecuali virus Covid-19 saat ini.
Berdasarkan bukti ini berarti penyakit yang menimpa manusia satu rangkaian dengan penciptaan manusia itu sendiri. Artinya, ada hubungan kausalitas antara apa yang dikonsumsi dan dampak yang diterima. Karenanya, sehat dan sakit menjadi satu kesatuan penciptaan yang secara hakikat saling berpasangan.
Tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang bebas dari penyakit. Jangankan manusia biasa seperti kita, Nabi-Rasul sebagai makhluk pilihan Tuhan sekalipun juga bisa terserang penyakit. Faktanya, banyak manusia mati disebabkan oleh suatu penyakit yang diderita.
Jika relasi agama dan penyakit ini dipahami dengan benar, seharusnya tidak perlu mempertentangkan keduanya. Manusia yang tersusun dari unsur rohani dan jasmani, sudah pasti tidak akan kebal dari penyakit selama hidupnya. Salah satu unsur atau keduanya sekaligus bisa menjadi sebab seseorang terkena penyakit.
Sebagai manusia yang beragama, seharusnya menghadapi suatu penyakit secara holistik (menyeluruh). Penyakit, apapun jenisnya, khususnya penyakit menular seperti virus Corona tidak bisa didekati secara parsial. Tidak cukup hanya menggunakan pendekatan medis semata. Sebaliknya, tidak pula hanya dengan pendekatan rohani (spiritual).
Tidak seharusnya kalangan medis menyebut bahwa virus Corona yang menyebar kemana-mana semata karena murni gaya hidup manusia. Demikian juga sebaliknya, klaim sepihak dari kaum agamawan bahwa ini merupakan kutukan Tuhan bagi para pendosa. Dua perspektif tersebut harus ditempatkan secara tepat.
Suatu penyakit, sebesar apapun dampaknya, harus dilihat dari dua konteks kehidupan. Manusia yang hidup di alam nyata, alam fisik dan wujud, harus diterima dan sangat mungkin menjadi sebab timbulnya suatu penyakit. Namun, bahwa ada unsur The Other, ada bion yang juga sangat mungkin mempengaruhi kehidupan manusia, termasuk wabah penyakit.
Pada level psikologis, begitu banyak penelitian yang menyebutkan bahwa faktor mental bisa menjadi sebab timbulnya penyakit. Satu contoh kecil, stres adalah salah satu unsur psikologis yang bisa menimbulkan secara nyata penyakit fisik dan mental.
Saat kita merasa stres akibat beban masalah yang berat, atau masalah kecil yang dianggap besar, maka sistem dalam tubuh akan meresponnya secara berbeda-beda. Bahkan stres kronis dapat berdampak pada kesehatan secara keseluruhan.
Sistem saraf pusat adalah yang paling bertanggung jawab dalam merespon stres. Mulai pertama kali stres sampai menghilang. Sistem saraf pusat menghasilkan respon 'fight-or-flight' saat tubuh mengalami stres.
Beberapa wilayah penyakit yang akan menyerang karena stres, diantaranya pada sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, sistem pencernaan, sistem otot rangka, sistem reproduksi, bahkan sistem imun tubuh secara keseluruhan.
Agama yang bekerja lebih dominan pada wilayah psikologis dan unsur spiritual tidak perlu dipertentangkan dengan penyakit fisik (disease). Apalagi agama juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga kebersihan fisik (thaharah) dan mental (tazkiyat al-nafs).
Bahkan dalam praktik-praktik beragama, para ilmuan khususnya Islam, mengajarkan dan mempraktikkan terapi penyakit fisik dan mental berdasarkan nilai-nilai agama. Sebut saja misalnya Ibnu Sina (Avicena), Ibnu Ruysd, Alfarabi, Imam Al-Ghazali, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan masih banyak lagi.
Di sinilah pentingnya kita bersikap wise dalam menghadapi penyakit, apalagi yang mewabah seperti virus Corona ini. Virus sudah selayaknya ditanggulangi secara medis, seperti perawatan intensif, dan obat-obatan tertentu. Juga bisa dicegah dengan gaya hidup sehat, mengonsumsi makanan sehat, dan olah raga teratur.
Namun, hal yang juga penting adalah bagaimana kita tetap tidak melupakan peran Tuhan yang mengatur jagad raya ini. Tuhan adalah pemilik alam ini secara mutlak. Bukankah amal perbuatan dosa yang dilakukan manusia juga bisa berdampak pada ketidakseimbangan jagad raya, yang bisa jadi timbul wabah penyakit? Kalau Tuhan sudah berkehendak, memangnya manusia memiliki kemampuan apa?
Penulis adalah Dosen Psikologi Islam pada Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, Salemba Jakarta