Seiring dengan menurunnya kasus pandemi Covid-19 di Indonesia, protokol kesehatan semakin kendur. Di satu sisi, masyarakat Indonesia patut bersyukur karena pasien yang sakit berkurang, tetapi di sisi lain masih perlu untuk tetap waspada. Sangat disayangkan apabila pemandangan di tempat-tempat umum saat liburan akhir pekan sudah mulai diwarnai dengan kerumunan. Pemakaian masker juga mulai berkurang padahal pemerintah masih menganjurkannya.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa situasi sudah aman. Mereka merasa bahwa sebentar lagi pandemi akan berlalu dan semua akan kembali seperti dahulu. Padahal, para ahli telah memperingatkan bahwa di masa yang akan datang, Covid-19 belum tentu akan hilang sepenuhnya. Sebagian ahli berpendapat bahwa virus ini akan ada dalam jangka panjang dan mungkin akan menjadi penyakit yang ringan seiring dengan perkembangan zaman.
Situasi pandemi terkini di Indonesia membuat masyarakat bertanya, mengapa masih harus memakai masker dan menjaga jarak? Saat orang-orang yang ada di sekitar terlihat sehat, mengapa masih tidak diperbolehkan untuk berkerumun? Mungkinkah di saat wabah belum usai tetap harus membatasi interaksi dengan orang sehat sekalipun? Sementara di waktu yang sama, upaya vaksinasi terus meningkat dan infeksi yang baru terhitung tidak banyak.
Ulama Islam memiliki jawaban atas pertanyaan di atas. Berdasarkan sejarah atas wabah yang terjadi pada zaman dahulu, ada ulama yang tercatat memberikan fatwa dengan kondisi yang mirip seperti saat ini. Bahkan pada masa terdahulu, pemikiran ulama Islam telah melampaui zamannya dengan mengeluarkan fatwa untuk dokter saat itu dan seiring waktu baru terungkap hikmahnya pada saat ini.
Imam Suyuthi merekam kisah fatwa seorang ulama yang bernama Al-Badar bin Ash-Shahib tentang terapi al-fashdu (mengalirkan darah keluar dari tubuh melalui pembuluhnya) ketika wabah thaun. Menariknya, di akhir fatwa tersebut ada saran untuk menghukumi orang yang sehat seperti orang yang sakit. Selengkapnya kisah tersebut adalah sebagai berikut:
“Al-Badar bin ash-Shahib berkata dalam kitab Tadzkirah-nya, dan dari catatan tangannya saya mengutip, saya dimintai fatwa oleh sebagian dokter tentang thaun beserta kaitannya dengan terapi al-fashdu maka aku pun melarangnya walaupun itu adalah penyakit yang menyerang darah. Dengan adanya penyebaran wabah ke seluruh badan, maka semua darah telah mengalami kerusakan. Oleh karena itu, tidaklah bermanfaat upaya itu ketika semua badan telah mengalami kerusakan. Al-fashdu itu akan menyebabkan kematian bila darah yang dikeluarkan jumlahnya berlebihan dan pasien tidak akan mampu bertahan kecuali atas kehendak Allah swt. Dengan demikian, dilarang untuk melakukannya jika thaun telah menyebar pada sepertiga penduduk negeri. Karena telah mengenai semua manusia, maka pada saat itu orang-orang yang sehat dihukumi seperti orang-orang yang sakit” (Imam Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun [Damaskus: Darul Qalam], tanpa tahun, h. 175).
Berdasarkan fatwa tersebut, terapi al-fashdu dilarang untuk diterapkan saat semua orang diperkirakan telah terpapar wabah. Perkiraan itu dihitung saat sepertiga penduduk suatu negeri terpapar pandemi. Artinya, masih ada dua pertiga penduduk yang terlihat sehat meskipun situasi pandemi belum mereda. Namun, Al-Badar bin ash-Shahib mengantisipasi agar masyarakat tetap waspada dengan mengeluarkan fatwa bahwa orang yang sehat perlu dianggap seperti orang yang sakit.
Antisipasi tersebut dapat dilihat sebagai ijtihad ulama dalam bidang epidemiologi pada masa lalu. Perhitungan sepertiga penduduk yang terkena thaun dimaknai sebagai paparan terhadap keseluruhan penduduk sehingga membuat semua orang harus berhati-hati, termasuk dokter yang akan memberikan terapi. Lebih jauh, peringatan akan perlunya menganggap orang yang sehat seperti orang yang sakit ditujukan bukan hanya kepada dokter melainkan kepada segenap masyarakat.
Thaun pada masa lalu memang tidak sama persis dengan pandemi Covid-19. Namun, ada beberapa kemiripan yang bisa diamati seiring dengan diketahuinya gejala-gejala Covid-19. Penyakit Covid-19 mempengaruhi darah mulai dari keberadaan virus di dalam darah yang meracuni darah hingga munculnya gangguan pembekuan darah. Gejala penyakit baru ini juga menyebar, tidak hanya di saluran pernapasan tetapi juga di seluruh tubuh.
Apabila fenomena di atas ditarik ke kondisi saat ini, maka masih ada hikmah yang bisa diambil. Sejak kemunculan Covid-19, banyak penderita penyakit ini yang tidak menunjukkan gejala klinis atau disebut asimptomatik. Orang-orang tanpa gejala tersebut akan terlihat seperti orang yang sehat, tetapi di dalam tubuhnya membawa virus SARS-CoV-2. Pada masa awal pandemi, puncak gelombang wabah, hingga mengalami penurunan kasus pada saat ini, masih ada orang tanpa gejala.
Berdasarkan hasil penelitian, satu dari tiga orang yang terpapar Covid-19 tidak menunjukkan gejala klinis. Hasil penelitian ini juga diacu oleh Pemerintah Indonesia secara resmi di situs covid19.go.id. Apabila virus tersebut berpindah ke orang lain yang rentan tentu masih bisa menimbulkan infeksi baru. Oleh karena itu, pencegahan penularan penyakit masih tetap diperlukan.
Hasil penelitian lain tentang orang tanpa gejala yang terinfeksi Covid-19 di dunia pada tahun 2020 menunjukkan rentang yang lebih lebar pada kisaran 50%-80%. Kemudian pada tahun 2021, di Taipei, persentase orang tanpa gejala mencapai 66% atau hampir dua pertiga dari kasus yang terjadi. Kedua kondisi tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang tampak sehat tetapi terpapar virus.
Melaksanakan protokol kesehatan bukan berarti berprasangka buruk kepada orang lain yang sehat. Adanya anomali bahwa orang yang sehat dianggap seperti orang yang sakit saat pandemi bisa disikapi dengan bijak. Upaya-upaya seperti 3M hingga 6M semata-mata dilakukan untuk memutus rantai penularan Covid-19 dan bukan untuk menjauhi orang lain.
Bisa jadi, orang yang tanpa gejala saat pandemi ini adalah diri kita sendiri sehingga dengan mematuhi protokol kesehatan, kita menghindarkan orang lain dari tertular penyakit. Oleh karena itu, kesadaran untuk patuh terhadap protokol kesehatan sebagai amal saleh sudah selayaknya terpatri dalam diri tiap-tiap Muslim di Indonesia.
Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti di bidang farmasi