Opini

Bumiputeraisme: Urgensi Penguatan Ekonomi Pribumi

Sabtu, 4 November 2017 | 18:40 WIB

Bumiputeraisme: Urgensi Penguatan Ekonomi Pribumi

Ilustrasi pasar. (bisnis.com)

Oleh M. Kholid Syeirazi
 
Ada suatu masa, di sebuah negara-bangsa yang masih muda, persamaan hak dan kewajiban di muka hukum diuji oleh ketimpangan ekonomi di antara warganya. Demokrasi politik dan hukum yang disuarakan kaum borjuis di Eropa sedari awal tidak menyertakan demokrasi ekonomi sebagai isu. 
 
Yang mereka tuntut sebagai pemilik uang dan pembayar pajak adalah hak politik dan hukum agar tidak 'dikepret' secara sewenang-wenang oleh penguasa. Demokrasi lahir dari tradisi borjuis yang kekuatan uangnya mampu menekan penguasa untuk mendengar suara mereka. Barrington Moore bilang: No Bourgeoisie No Democracy!
 
Ketika diekspor ke seluruh dunia, demokrasi membawa cacat bawaan yang sama. Demokrasi dipikirkan sebagai prinsip equality before the law dan hak politik tanpa pandang bulu. Bagaimana dengan hak ekonomi? Itu urusan pasar. Pasar dengan 'tangan gaibnya' akan membagi-bagi kesejahteraan tanpa perlu intervensi negara. Para pendiri Republik sadar perlunya campur tangan negara. 
 
Urusan perut rakyat terlalu penting untuk diserahkan sepenuhnya ke pasar yang rawan menjadi ring tinju bagi yang kuat melibas yang lemah. Karena itu, dipasanglah Pasal 33 yang ayat 1-nya menomorsatukan ko-operasi bukan kompetisi (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama....). Belakangan, pada amandemen tahun 2001, ditambahkan ayat kompetisi melalui melalui frase 'efisiensi' di ayat (4).
 
Nyatanya kesamaan akses tidak pernah terjadi bidang ekonomi. Konstitusi meruntuhkan kasta-kasta sosial dan politik, tetapi dalam ekonomi kasta-kasta itu terpelihara dalam tiga tingkat: Londo, Aseng, dan pribumi. Londo menguasai sektor industri besar. Aseng dan keturunan Arab menguasai retail dan eceran. Pribumi kelas jongos atau terpinggir sebagai petani miskin.
 
Upaya mengangkat harkat pribumi dalam perekonomian dilakukan dengan program ekonomi Benteng dan Bumiputeraisme yang berlangsung pada dekade 50-an. Program ini gagal karena yang terjadi adalah fronting atau istilahnya Ali - Baba: yang di depan Ali (pribumi) tetapi operator sebenarnya adalah Baba (aseng).
 
Kendatipun resmi dihentikan tahun 1957, kebijakan memproteksi pribumi yang berada di kasta terendah dalam perekonomian masih terus coba dilakukan, antara lain dengan menerbitkan PP No. 10 Tahun 1959 yang melarang asing dan aseng bergerak di perdagangan retail di tingkat kabupaten ke bawah. Padaa saat PP ini diterbitkan, dari 86.690 izin retail yang terdaftar, 90 persennya dikuasai warga keturunan Tionghoa. PP ini menimbulkan gejolak. Di sejumlah tempat di Jawa Barat, pedagang Cina diusir dan makan korban jiwa di Curut, Cibadak, dan Cimahi. 
 
Pemerintah Peking gusar, mengutuk pemerintah Indonesia dan mengajak warga keturunan Tionghoa balik ke "kehangatan Ibu Pertiwi." Dikabarkan dari 199 ribu yang mendaftar, 102 ribu orang diangkut ke Cina. Ketegangan mengendur setelah PM RRT, Zhou Enali, menemui Soekarno dan menormalisasi hubungan.
 
Apa sikap NU terkait gerakan Bumiputeraisme ini? Dalam Muktamar ke-25 di Surabaya Tahun 1971, NU mendukung penerapan PP No. 10/1959 sebagai ikhtiar melindungi perekonomian kecil yang menjadi basis Nahdlyin. Sebagaimana terlihat dalam dua kutipan Keputusan Muktamar di bawah ini, NU secara tegas mendukung upaya Pemerintah mengangkat dan melindungi perekonomian rakyat yang telah berabad-abad di bawah tindasan asing dan aseng.
 
Karena itu, jika PWNU Jawa Tengah dalam rapat di Magelang 5/12/2016 memutuskan haramnya pemberian lisensi kepada retail modern yang merugikan perekonomian rakyat kecil, keputusan itu punya benang merah dengan Keputusan Muktamar NU ke-25 tahun 1971.
 
Pasar bebas telah menembus ke jantung ekonomi akar rumput. Kapitalisme telah mengedarkan produk-produk MNC memenuhi hajat hidup rakyat kecil dari sejak membuka mata sampai beranjak ke tempat tidur. Gerai-gerai waralaba menghajar kampung-kampung, menggusur para pedagang kecil, mematikan warung-warung. Gempuran kapitalisme ini tidak kalah berbahayanya dengan gempuran radikalisme agama yang menjerat banyak anak muda di kota-kota.
 
Jihad muslim moderat bukan hanya melawan fundamentalisme agama, tetapi juga fundamentalisme pasar. Kata Richard Falk, fundamentalisme agama adalah anak kandung fundamentalisme pasar yang menjelma dalam globalisasi yang menimbulkan frustrasi bagi banyak orang miskin. Menyuarakan isu toleransi agama tanpa menyoal isu ketimpangan sama dengan memboyong demokrasi tanpa koreksi terhadap anasir borjuis yang melekat dalam sejarah kelahirannya.
 
Karena itu, perlu disampaikan esensi pengusungan Islam Nusantara: musuh kita bukan hanya fundamentalisme agama, tetapi juga fundamentalisme pasar yang menggusur ruang ekonomi rakyat kecil. Mengagungkan ide persamaan tanpa menyoal isu ketimpangan seumpama wudhu tanpa mengganti pakaian. Wudhunya sah, tetapi salatnya batal karena pakaiannya najis!
 
Penulis adalah Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU).
 


Terkait