Dari Otak ke Nasi Kotak: Membongkar Kerawanan Sistemik Program MBG
Rabu, 17 September 2025 | 07:56 WIB
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah resmi berjalan, digadang-gadang sebagai program unggulan untuk menciptakan Generasi Emas 2045. Di atas kertas, niatnya sulit dibantah. Program ini adalah wujud investasi modal manusia, sebuah upaya memastikan anak-anak bangsa tumbuh sehat dan cerdas. Logikanya, otak yang cemerlang membutuhkan perut yang terisi.
Namun, setelah program ini berjalan, publik dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit. Program ambisius ini ternyata datang dengan harga yang tak kalah ambisius, memicu pertanyaan fundamental: apakah kita benar-benar sedang berinvestasi pada otak atau kita justru sedang mengorbankan kualitasnya demi obsesi pada nasi kotak?
Persoalan pertama dan paling mendasar adalah sumber pendanaan.
Program MBG memakan biaya fantastis. Anggaran yang dialokasikan untuk tahun 2025 saja, setelah berbagai revisi, telah ditetapkan mencapai Rp 171 triliun. Angka ini bahkan direncanakan akan membengkak drastis menembus Rp 335 triliun pada tahun 2026, ketika program ini diperluas untuk mencakup keseluruhan target sasaran puluhan juta penerima manfaat.
Angka ratusan triliun ini bukan "uang kaget". Sebagian besar dana raksasa ini diambil dari alokasi 20% mandat konstitusi untuk anggaran pendidikan. Di sinilah letak pertukaran prioritas yang paling krusial. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk membeli buku, komputer, melatih guru, dan memperbaiki atap sekolah yang bocor, harus dialihkan untuk membiayai pengadaan nasi kotak.
Persoalan kedua—dan ini adalah inti masalahnya—adalah pertaruhan itu sendiri. Andaikan publik terpaksa menerima pengorbanan anggaran pendidikan, pertanyaan berikutnya jauh lebih kritis: apakah anggaran ratusan triliun itu benar-benar sampai ke perut siswa dalam bentuk gizi berkualitas?
Di sinilah kerawanan sesungguhnya dari sebungkus nasi kotak itu perlu dibongkar.
Jika melihat rincian biaya yang diterima para pelaksana, harga Rp 15.000 per porsi ternyata tidak sepenuhnya untuk makanan. Angka itu adalah biaya paket total. Biaya yang dianggarkan untuk "belanja bahan" (isi nasi kotak) ternyata hanya maksimal Rp 8.000 untuk kelompok Balita, PAUD, dan SD kelas 1-3, serta maksimal Rp 10.000 untuk siswa SD kelas 4-6, SMP, SMA, dan ibu hamil/menyusui. Sisa Rp 5.000 lainnya dialokasikan untuk biaya operasional (maksimal Rp 3.000 per porsi, mencakup gaji relawan, gas, listrik, air) dan biaya sewa (maksimal Rp 2.000 per porsi, untuk sewa dapur, kendaraan, dan alat).
Struktur anggaran ini sejak awal sudah sangat rawan. Pelaksanaan program ini diserahkan kepada "penerima bantuan", yaitu berbagai Yayasan yang mengelola dapur-dapur raksasa (SPPG). Yayasan ini terikat kontrak untuk menyediakan makanan dengan pagu bahan baku yang sangat ketat.
Struktur ini menciptakan kerawanan sistemik di tingkat pelaksana. Apa pun mekanismenya, sistem ini membuka celah kolusi antara vendor (yayasan) dan otoritas lokal (kepala sekolah).
Skenario pertama adalah transaksi "jual-beli kuota". Pelaksana (yayasan) dibayar per porsi dan ditarget melayani ribuan orang—target standar per dapur adalah 3.000 hingga 4.000 penerima—agar operasionalnya efisien. Mereka bergantung pada "kuota" siswa. Kepala sekolah memegang kuasa atas kuota itu, termasuk hak legal untuk menolak program—misalnya dengan alasan sekolah sudah menyediakan makan mandiri—dan hak tolak ini bahkan disediakan dalam format surat pernyataan resmi. Posisi tawar ini membuka celah transaksi: vendor membayar sekolah agar bersedia menyerahkan datanya dan tidak menggunakan hak tolaknya.
Skenario kedua adalah transaksi validasi data dan kualitas, yang terjadi jika sekolah dipaksa bergabung (captive market) atau bahkan setelah mereka setuju. Vendor masih membutuhkan kepala sekolah untuk memvalidasi jumlah data siswa. Ini membuka celah manipulasi data (mark-up jumlah siswa), sebuah risiko yang sangat nyata sehingga aturan program secara eksplisit melarang keras tindakan "memanipulasi jumlah penerima manfaat".
Relasi transaksional ini diperparah oleh ikatan kontrak di lapangan. Ditemukan perjanjian kerja sama yang secara spesifik mewajibkan pihak sekolah untuk "menjaga kerahasiaan informasi" jika terjadi masalah—seperti keracunan, paket tidak lengkap, atau kondisi lain—dan menyelesaikannya secara internal dengan pihak dapur. Struktur yang mewajibkan "diam" ini adalah "pelumas" yang sempurna untuk praktik kolusi: sekolah (yang mungkin sudah menerima "bagian" dari transaksi kuota atau data) wajib diam jika kualitas makanan buruk.
Pemerintah sendiri tampaknya menyadari penuh risiko ini. Dalam aturan main ketat yang dibagikan kepada pelaksana, tercantum larangan-larangan eksplisit seperti: dilarang "mengurangi jumlah gramasi (porsi) makanan", dilarang menggunakan "bahan makanan yang busuk/tidak layak konsumsi", mendistribusikan "makanan basi", dan bahkan melarang penggunaan minyak goreng lebih dari tiga kali.
Fakta bahwa larangan-larangan mendasar seperti "tidak boleh memakai bahan busuk" perlu ditegaskan secara tertulis menunjukkan betapa besarnya potensi penyelewengan itu. Pemerintah bahkan telah menyiapkan protokol khusus jika terjadi "keracunan massal", yang mengharuskan pelaksana segera menarik makanan, membawa korban ke rumah sakit, dan menyimpan sampel makanan harian. Ini bukan lagi risiko; ini adalah kegagalan yang sudah diantisipasi.
Ketiga, ada persoalan fundamental mengenai efektivitas dan ketepatan sasaran. Program ini sering dipromosikan sebagai solusi ajaib untuk stunting. Padahal, para ahli gizi sepakat bahwa stunting adalah kondisi gagal tumbuh kembang otak yang bersifat permanen dan terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan (sejak dalam kandungan hingga usia 2 tahun).
Meskipun program ini menyasar ibu hamil dan balita (yang sudah tepat), program ini juga menggelontorkan anggaran masif untuk seluruh siswa SD, SMP, hingga SMA. Memberi nasi kotak kepada siswa SMA tentu baik untuk mengatasi kelaparan harian dan menambah energi belajar. Namun, itu tidak akan memperbaiki kerusakan otak akibat stunting yang sudah terjadi belasan tahun lalu. Ini adalah dua masalah berbeda yang dicampuradukkan.
Pada akhirnya, publik dihadapkan pada sebuah ironi yang menyakitkan.
Demi program nasi kotak, anggaran untuk kualitas otak dikorbankan. Celakanya, nasi kotak itu sendiri secara struktural sangat rentan gagal, tidak aman, dan rawan dikorupsi melalui berbagai celah di hulu hingga hilir. Selain itu, program ini juga tidak fokus pada sasaran stunting yang paling krusial.
Jangan sampai mandat konstitusi untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa" tersandera oleh program pengadaan nasi kotak terbesar dalam sejarah Republik Indonesia.
Sofian Junaidi Anom, Pengurus LTN PBNU dan Penggerak Komunitas Terong Gosong