Serangan Israel ke Jalur Gaza, Palestina, tidak menyusut. Sejak serangan pertama pada Sabtu (27/12) hingga kini, roket-roket Israel telah melumat lebih dari 400 nyawa warga Palestina dan sekira 2000 orang lainnya luka-luka.
Tragedi Gaza kali ini merupakan yang terburuk dengan korban tewas terbanyak dalam serangan satu hari Israel ke Palestina sejak kawasan itu dicaplok Israel pada 1967. Bukan hanya markas dan gudang senjata kelompok Hamas yang dijadikan sasaran, tetapi juga berbagai fasilitas sipil Palestina. rumah sakit, sekolah-sekolah, masjid terbesar Al-Shifa, gereja, dan televisi Al-Aqsa pun hancur lebur.<>
Upaya Israel untuk membuat bangsa Palestina menderita seperti tidak ada habisnya. Tidak hanya menghujani Gaza dengan rudal dan roket, kapal-kapal Israel juga menyerang pihak mana pun yang mencoba menyalurkan bantuan kepada para korban di Gaza.
30 Desember 2008, kapal patroli Israel menembaki dan menabrak kapal yang ditumpangi 16 aktivis kemanusiaan dari LSM Free Gaza Movement yang membawa bantuan medis seberat tiga setengah ton. (Jawa Pos, 31/12)
Kemandulan PBB
Seperti biasa, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan beberapa negara di dunia mengecam dan mengutuk kebrutalan Israel. Tetapi, bagi Israel, kecaman dan kutukan itu hanyalah lagu lama yang tidak pernah mereka pedulikan. Nyatanya, kebrutalan demi kebrutalan terus saja dipertontonkan tanpa dunia bisa berbuat apa-apa.
Dewan Keamanan (DK) PBB memang langsung melakukan rapat darurat pascaserangan militer tersebut, dan memerintahkan Israel menghentikan serangan serta mengizinkan misi kemanusiaan memasuki wilayah Palestina yang sejak lama diblokade. (Media Indonesia, 30/12)
Tetapi, cukupkah dan efektifkah perintah itu? Tidak! Sejak Israel mencaplok Palestina pada 1967, kecaman demi kecaman, kutukan demi kutukan, bahkan resolusi PBB pun tidak pernah mampu menghentikan kebiadabannya. Terhadap Israel, resolusi PBB selalu saja tidak mempan alias impoten.
Sebagaimana pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa tidak cukup resolusi, tetapi harus ada aksi nyata. PBB harus mengambil langkah konkret untuk menghentikan krisis kemanusiaan di Tanah Suci, Palestina. PBB pada umumnya dan DK PBB pada khususnya, harus memberikan kepedulian sungguh-sungguh pada masalah ini.
Mengamini sikap Presiden, Indonesia mestinya memanfaatkan posisi sebagai anggota DK PBB untuk bersuara lantang menggugat keras masalah serius internasional ini. DK PBB dan negara-negara Islam, termasuk Indonesia, ditantang keberaniannya menggugat dan melakukan aksi nyata menghentikan pelanggarakan HAM berat yang dilakukan Israel. Sebab, sudah bisa diduga, kekuatan-kekuatan utama dunia terlebih Amerika Serikat (AS) akan selalu membela dan bersikap dari sudut pandang Israel.
Sayang, masyarakat dunia, khususnya negara-negara Islam dan Timur Tengah, tidak berani melakukan aksi nyata menghentikan atau setidaknya mengutuk keberpihakan AS pada kebrutalan Israel. Alih-alih mengutuk AS, para penguasa Arab justru berlomba-lomba mencari muka dengan menghadiahkan emas senilai miliaran rupiah kepada pejabat AS.
Konon, Raja Abdullah dari Arab Saudi menghadiahkan perhiasan emas berlian senilai sekitar Rp 1,9 miliar. Sedangkan Raja Abdullah II dari Yordania menghadiahi perhiasan senilai Rp 1,7 miliar.
Andai para penguasa Arab bersatu padu menghibahkan uang miliaran tersebut kepada rakyat Palestina, tentu bisa meringankan penderitaan mereka. Bahkan, andai Liga Arab (ditambah negara-negara lain di dunia) mempunyai suara bulat dan lantang menentang Israel dan Amerika, kedua negara pelanggar terberat HAM ini tentu akan tersudut. Sayangnya, bahkan amat tragis, banyak negara Arab yang justru menjalin hubungan diplomatik secara mesra dengan Israel, seperti Mesir dan Yordania.
Israel memang negara kecil, tetapi ia memiliki kekuatan superdahsyat. Kekuataan ini, jika disadari, sebetulnya merupakan buah dari kelemahan negara-negara Islam dan Liga Arab sendiri. Mereka menginvestasikan miliaran harta di bank-bank di AS. Lalu, AS menggunakan uang-uang tersebut untuk mendanai Israel. Itu artinya, secara tidak langsung, Liga Arab pun turut ‘andil’ dalam aksi-aksi militer Israel.
Di mana Obama?
Bagaimana sikap AS atas kebrutalan Israel ini, yang nyata-nyata merupakan pelanggaran berat dan besar atas hukum kemanusiaan internasional? Sudah bisa ditebak, Presiden AS George W. Bush selalu saja bungkam, tak bersuara. Ironisnya, sampai saat ini Presiden terpilih Barack Obama juga belum bersuara. Ini sangat aneh. Padahal, bulan lalu, ketika sebelas teroris muda menyerang Mumbai, dia langsung mengeluarkan pendapatnya bersama seluruh tim transisi.
Diamnya Obama itu membuat dunia Arab, khususnya simpatisan Palestina, getir. Mereka harus menerima kenyataan bahwa kebijakan AS di wilayah Timur Tengah tidak akan berubah banyak saat Obama mengambil alih Gedung Putih, 20 hari lagi.
Departemen Luar Negeri AS di bawah Condoleza Rice maupun calon penggantinya, Hillary Clinton, tetap akan melaksanakan kebijakan pro-Israel. Gedung Putih yang akan dikendalikan Rahm Emmanuel sebagai kepala staf itu pun akan tetap menjadi pusat perumus kebijakan politik pro-Israel.
Pada pidato pertama pascakemenangan atas Hillary Clinton dalam konvensi Partai Demokrat di hadapan Komite Urusan Publik Amerika-Israel (AIPAC), Obama menegaskan dukungannya kepada Israel. Ia menyatakan bahwa relasi antara AS dan Israel adalah suatu hal yang tidak dapat diganggu gugat. Pandangan serupa agaknya juga dianut Hillary Clinton.
Jika kita mengingat janji Obama dalam berbagai kesempatan kampanye bahwa kelak jika terpilih sebagai presiden AS akan mengakhiri kebijakan politik luar negeri Bush yang cenderung hegemonik dan tidak bersahabat, maka pidato Obama di hadapan Komite Urusan Publik Amerika-Israel (AIPAC) dan penunjukkan Hillary Clinton sebagai menteri luar negeri, tentu menjadi sangat kontraproduktif dengan janji tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa Israel telah sejak lama menjadi sekutu utama AS di Timur Tengah. Kita masih ingat, Agustus 2007 lalu, AS dan Israel telah memperbarui Memorandum of Understanding (MoU) mengenai bantuan militer. Melalui MoU tersebut, AS menyatakan kesediaannya untuk memberikan bantuan militer bagi Israel Israel menerima bantuan militer dari AS sebesar US$ 2,4 miliar per tahun. Dengan kesepakatan baru tersebut, Israel senilai US$ 30 miliar selama sepuluh tahun ke depan. Selama ini, akan mendapatkan tambahan dana sebesar US$ 600 juta per tahun.
Kita tentu yakin Obama tidak akan pernah membatalkan MoU tersebut dan menyeret para pemimpin Israel, seperti PM Tipvi Lipni dan juga para pendahulunya, Ehud Olmert dan Ehud Barak, ke pengadilan internasional atas kejahatan kemanusian mereka di Gaza. Jadi, masihkah kita menaruh harapan besar kepada Obama dalam kasus Israel?
Penulis adalah Ketua Forum Kajian Lereng Merapi, Yogyakarta