Dalam rangka menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang dirayakan setiap tanggal 5 Juni, Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) melaksanakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) dengan tema “Ekologi Spiritual: Upaya Merawat Jagat, Membangun Peradaban” tanggal 2-4 Juni 2023 di Pesantren Al Hamidiyah, Depok Jawa Barat.
Forum ini dilaksanakan sebagai tindak lanjut arahan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PB NU) KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari kegiatan Religion Twenty (R20) yang diselenggarakan November lalu di Nusa Dua, Bali. Hal ini semakin menggarisbawahi keterlibatan Indonesia sebagai aktor utama dalam mengurai persoalan krisis lingkungan dan perubahan iklim di tingkat global.
Krisis lingkungan dan perubahan iklim menjadi isu utama dunia dalam kurun satu dekade terakhir. Hingga saat ini bumi terus-menerus memanas. Perjanjian Paris yang disetujui oleh 196 negara anggota PBB bersepakat memperlambat laju pemanasan global di bawah 1,5-2 derajat Celcius tak mampu terealisasikan. Dan nampaknya, kita belum mencapai formula atau solusi dalam menghangatkan kembali bumi yang sedang demam berkepanjangan.
Banyak orang tidak menyadari bahwa meningkatnya suhu panas berdampak serius pada lingkungan. Faktanya, para ilmuwan telah menegaskan bahwa dampak kenaikan panas dapat membawa bencana alam, mencairnya es di Kutub, naiknya permukaan laut yang berakibat banjir di pesisir, munculnya gelombang panas, hingga hilangnya berbagai spesies tumbuhan dan hewan. Semua masalah ini tidak lagi bersifat futuristis, tapi sudah benar-benar terjadi dan dihadapi oleh seluruh masyarakat dunia, tanpa terkecuali.
Di Indonesia, kita telah merasakan suhu panas di atas batas normal, banjir dan permukaan laut di daerah-daerah pesisir telah menutup rumah-rumah warga. Berita gagal panen telah terjadi di mana-mana sebab cuaca yang tidak lagi dapat diprediksi. Fenomena ini juga berdampak pada perekonomian dan kesehatan individu. Ketidakstabilan ekonomi dan kesehatan mempengaruhi kualitas hidup manusia. Pada akhirnya kerusakan alam adalah awal dari kehancuran tatanan sosial dan budaya.
Pertemuan Forum R20 atau G20 Religion Forum yang diprakarsai Ketum PBNU Gus Yahya tersebut menjadi konferensi pertama yang mengkonsolidasikan pemimpin-pemimpin agama di tingkat dunia, di mana Indonesia sebagai tuan rumah (2-3/11/2023). Komunike yang dirumuskan dalam R20 menegaskan bahwa ekologi spiritual bagi umat beragama sebagai solusi dalam menjaga lingkungan dan kelangsungan hidup bumi. Kesepakatan ini secara praktis, mendorong terealisasinya kebijakan pemerintah di seluruh dunia untuk mengembangkan dan membiayai proyek infrastruktur rendah karbon dan tahan iklim di bidang energi terbarukan, penerangan hemat energi, dan optimalisasi limbah.
Indonesia sendiri telah menunjukkan komitmennya dalam menurunkan emisi dengan meningkatkan target Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam dokumen NDC terbarunya, Indonesia meningkatkan target untuk menurunkan emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri dan dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan dukungan internasional.
Reformasi Bumi
Cendekiawan Muslim almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah memunculkan sebuah konsep tentang ekologi dan keterkaitannya dengan spritualitas (Islam). Berpijak dari penegasan Al-Quran tentang “larangan berbuat kerusakan di bumi” (QS. 7: 56), Cak Nur menyebut konsep ekologi spiritual dengan “reformasi bumi.”
Bagi Cak Nur, reformasi bumi dapat bermakn ganda. Pertama, larangan merusak alam yang diciptakan Tuhan, sejak awal penciptaan bumi. Ini berarti menjadi tugas manusia untuk memelihara bumi, memelihara lingkungan dan alam. Kedua, larangan merusak bumi setelah terjadi perbaikan oleh manusia. Dengan kata lain, bentuk pemeliharaan alam semesta harus transformatif dan sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan hukum alam.
Tugas reformasi aktif manusia untuk menciptakan sesuatu yang baru, yang baik dan membawa kebaikan. Lebih dari yang pertama, pemanfaatan alam melalui teknologi harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan, dilakukan secara berdaya, tidak merusak alam, dan yang terpenting manusia mampu menjaga kesadarannya untuk tidak serakah dalam memenuhi nafsu dan keinginannya.
Sebagaimana dalam pandangan almarhum Prof KH Ali Yafie, menjaga bumi adalah zuhud. Sikap spiritual yang merupakan nilai dasar tentang apa yang harus dituju dalam kehidupan dan bagaimana mengelola apa yang ada dalam alam ini untuk dapat dinikmati dan tidak menimbulkan kerusakan (QS. 28: 77).
Ekologi spiritual sebagai fungsi memelihara bumi, kini kembali digaungkan dan diperkenalkan NU dengan istilah “merawat jagat”. Menurut Gus Yahya, tergambar dari simbol lambang NU terdapat dua dimensi tanggung jawab dalam merawat jagat.
Pertama, dimensi bumi sebagai tempat hidup kita. Yang kedua, dimensi tatanan kehidupan di atas bumi yang kita tempati bersama-sama dengan seluruh umat manusia. Dengan kata lain, manusia wajib merawat bumi yang menjadi tempat hidup manusia, tidak pula merusak bumi sebagai tatanan kehidupan umat manusia yang hidup di dalamnya.
LPBI NU sebagai lembaga yang secara struktural-organisatoris merupakan pelaksana kebijakan dan program NU di bidang penanggulangan bencana, perubahan iklim, dan pelestarian lingkungan telah berupaya mewujudkannya semaksimal mungkin. Secara konsisten telah ikut melakukan langkah-langkah strategis dan taktis, misalnya melakukan penanaman pohon, menjadi relawan bencana, mendukung pesantren-pesantren agar ramah lingkungan dengan program pesantren hijau, serta ikut berpartisipasi aktif mendorong kebijakan pemerintah.
Dalam berbagai kesempatan, penulis selalu berbicara tentang keterlibatan pemuda dalam kebijakan publik, sehingga pemuda bukan hanya menjadi subyek kebijakan. Secara konkrit, inilah salah satu aspek di mana pemuda perlu dan harus dilibatkan, sebab bumi di masa depan akan dipimpin oleh para pemuda.
Dalam forum Rakornas LPBI NU yang diselenggarakan pada tanggal 2-4 Juni 2023 mendatang akan menjadikan hasil pertemuan R20 sebagai agenda utama, karena mengatasi perubahan iklim memerlukan kebersamaan dalam bertindak dengan mengajak seluruh jaringan di berbagai daerah untuk turut aktif dalam mengemban amanah ekologi spiritual ini. Menelisik argumen Islam bahwa menjaga lingkungan dan penanggulangan krisis iklim merupakan hakikat dari penciptaan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifah fil-ardh).
Arief Rosyid Hasan, Pengurus Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPBI PBNU)