Apakah evolusi ini hanya terjadi pada hewan? Tentu saja tidak. Ada banyak sendi masyarakat lainnya juga mengalami evolusi.
Evolusi merupakan perubahan secara bertahap yang diakibatkan kondisi alam sehingga mendorong makhluk hidup untuk menyesuaikan diri, beradaptasi dengan lingkungan. Bagi makhluk hidup yang tidak bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan, maka dia akan terseleksi dan selanjutnya punah. Faktor-faktor yang mempengaruhi seleksi di antaranya adalah kondisi iklim, cuaca, suhu, kekebalan tubuh, sumber daya, dan lain sebagainya.
Mikroevolusi banyak kiita temukan misalnya pada serangga hama. Akibat ia hidup di lingkungan pertanian yang setiap harinya memakai insektisida, dan akibat penggunaan benih hibrida (F1), maka kekebalan tubuh serangga perlahan mengalami upaya adaptasi. Adaptasi pertama kalinya dengan menciptakan kemampuan untuk resisten terhadap obat. Dulu, para petani memanfaatkan DDT (diphenyl dicloro taurine) untuk membasmi hama. Ketika awal diaplikasikan, DDT disambut gembira oleh petani disebabkan daya berantasnya terhadap hama begitu signifikan. Namun seiring berbagai dampak lingkungan yang ditimbullkan dan berpengaruh terhadap biota air yang menjadi muara dari DDT itu setelah dibilas oleh air hujan, maka kemudian DDT itu menjadi dilarang. Padahal, DDT di lingkungan areal tanaman saat itu juga sudah menimbulkan dampak fenomena baru, yaitu resistensi serangga.
Munculnya beberapa pestisida dan inseksida yang baru tidak bisa menggantikan peran DDT sebab daya toksiknya yang lebih rendah. Akhirnya, muncul proses produksi yang baru yaitu menciptakan pestisida biologi yang ramah lingkungan, dan menggunakan bakteri. Banyak serangga yang mati secara perlahan disebabkan terinfeksi bakteri-bakteri yang diaplikasikan. Penurunan populasi hama serangga mempengaruhi meledaknya populasi virus tanaman. Virus kuning yang menyerang tanaman cabai membuat daun cabe menjadi keriting sehingga daya produksinya menurun. Daun yang mengandung virus dan semula dimakan oleh hama serangga, menjadi tidak ada lagi yang memakan sehingga virus pun menjadi meningkat tanpa kendali. Para petani banyak gulung tikar akibat serangan virus ini. Semua gambaran di atas, merupakan gambaran nyata dari evolusi dan adaptasi dan seleksi alam.
Saat ini kita tengah dalam masa Pandemi Covid-19. Covid merupakan kepanjangan dari Coronavirus deasease yang berarti penyakit yang ditimbulkan karena virus corona. Beberapa tahun silam, Corona sebenarnya juga sudah melanda dan pernah menggegerkan lewat virus flu babi, flu burung dan virus MERS. Tiba-tiba akhir tahun 2019, muncul kembali kasus Covid-19 yang juga diakibatkan oleh virus Corona. Dan kali ini, dampaknya sangat luar biasa, karena mampu membuat semua negara di dunia dibuat mengalami resesi. Hanya akibat virus corona. Kita patut bertanya? Apakah ini juga merupakan bagian dari evolusi?
Sadar atau tidak sadar, kemampuan evolutif ini banyak dipengaruhi oleh lingkungan, iklim, pola hidup masyarakat, dan berbagai faktor lainnya. Apakah evolusi ini hanya terjadi pada hewan? Tentu saja tidak. Ada banyak sendi masyarakat lainnya juga mengalami evolusi.
Hari ini, banyak teknologi sudah berkembang, termasuk teknologi informasi dan media massa. Dulu, ketika orang hendak silaturahim ke saudaranya, mereka harus datang ke tempat yang dituju, lalu bersilaturahim, bertatap muka, ngobrol, dan lain sebagainya. Hari ini, ruang, jarak dan waktu sudah disingkat dengan aplikasi video call, teleconference, zoom, dan lain sebagainya. Para pakar yang sebelumnya menyampaikan pemikiran-pemikirannya lewat pertemuan-pertemuan langsung di gedung seminar, atau hall, kali ini, hall itu sudah digantikan oleh platform pertemuan daring lewat metode webinar. Webinar itu apa sih? Ya, webinar itu adalah seminar tapi yang dilakukan ala web (jaringan) online.
Secara tidak langsung, ada tradisi baru yang berkembang. Para ustadz dan para pakar harus menyesuaikan dengan keadaan itu jika majelisnya tidak ingin ditinggalkan orang. Inilah evolusi. Pakar yang kehilangan momen, bisa jadi dia akan dianggap bodoh oleh orang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa soal ilmu tetapi bisa memegang momen. Kasus Saracen yang menggemparkan beberapa tahun lalu, dan beberapa grup yang diciptakan dan dibentuk oleh kalangan tertentu hadir menjadi momok baru, yang dengan kebodohan yang tidak diketahuinya, ia menciptakan sebuah opini guna menghabisi seorang yang sebenarnya adalah pakar di bidangnya. Sedemikian mudah komentar itu pada akhirnya mempengaruhi opini. Ini juga merupakan bagian dari faktor yang mempengaruhi terjadinya evolusi. Sudah pasti, evolusi yang terjadi dalam sekup ini, merupakan evolusi pemikiran dan kepakaran, atau bahkan evolusi dalam nilai keilmiahan.
Hari ini, sedang terjadi sebuah ledakan di Lebanon. Ledakan itu merupakan akibat dari amonium nitrat yang digunakan dalam pertanian sebagai pupuk. Di Indonesia, kita umumnya menyebut sebagai pupuk urea. Namun, yang terjadi di Lebanon adalah pupuk ureanya Lebanon.
Dulu, kasus yang menggegerkan dan diakibatkan oleh ledakan amonium nitrat ini paling banter adalah terjadi pada kasus ledakan septic tank, tempat penampungan akhir tinja rumah tangga. Ketika tempat penampungan itu tidak diberi lubang udara sehingga membuat gas amonianya bisa keluar, maka yang terjadi adalah kumpulan gas amonia yang terperangkap di dalam septic tank. Jika kemudian gas itu terkena picu oleh api, maka yang terjadi kemudian adalah “Booomm…” Septic tank meledak.
Keberadaan gas amonia ini sering dimanfaatkan untuk pembuatan biogas, dan sejenisnya. Dan bila disalurkan dengan benar, maka biogas bisa menjadi bernilai manfaat bagi manusia, disebabkan ia bisa menggantikan elpigi (LPG).
Pertanyaannya, apakah amonia telah mengalami evolusi? Dari septic tank, menjadi biogas, menjadi bisa meluluhlantakkan kota. Bahkan kekuatannya hampir menyamai 1/5 bom atom Hiroshima. Nuklir yang baru.
Alhasil, semua lini kehidupan dapat mengalami evolusi. Sebagaimana teori evolusi itu digulirkan dan selanjutnya sering dikenal dengan istilah teori seleksi alam, ada perubahan-perubahan yang signifikan dan terjadi pada kehidupan.
Pada dasarnya, perubahan itu dapat ditarik benang merahnya sebagai dua faktor, antara lain (1) faktor internal dan (2) faktor eksternal. Faktor internal muncul dari individu makhluk itu sendiri. Dalam konsep negara, individu yang dimaksud adalah warga negara itu sendiri. Sementara itu, faktor eksternal muncul dari lingkungan yang mempengaruhinya, seperti suhu (politik), temperatur (informasi), panas matahari (komunikasi publik), curah hujan (informasi), kelembaban (sikap tokoh publik), dan derajat keasaman tanah (pH)/representasi dari sejarah.
Kedua faktor di atas, dapat memicu terjadinya evolusi bagi organisme negara. Banjir informasi negatif dapat menyebabkan resistensi bagi individu warga negara, sehingga menganggap bahwa informasi itu adalah benar. Tanpa upaya penanggulangannya dan pelurusan sejarah baku dalam negeri, maka informasi itu dapat menjadi insektisida yang kelak ditanggapi sebagai resisten oleh beberapa organisme yang mengadaptasinya, sehingga ia kebal dengan informasi salah tersebut dan menganggapnya sebagai tidak apa-apa dan sah-sah saja.
Individu-individu ini kelak akan menjadi boom based on time, dan justru kelak akan memusnahkan tanaman-tanaman yang seharusnya dipelihara, dijaga, dan dirawat karena merupakan kultivar lokal yang sudah terbukti ketangguhannya. Jika tanaman lokal ini tidak lagi dapat bertahan dari serangan hama, maka yang hadir dan akan mendominasi adalah introduksi galur tanaman baru, yang konon didaku sebagai hibrida (F1). Dampaknya, adalah tanah-air menjadi gersang, tanahnya menjadi tandus. Sebab, galur tanaman yang baru, adalah seringkali bersifat rakus terhadap hara lokal.
Alhamdulillah, para petani kita sudah banyak yang sadar, bahwa tidaklah menguntungkan memanjakan ideologi kultivar hibrida baru nan asing, dan bukan berasal dari pencangkokan kultivar tanaman lokal setempat. Mereka sudah merasakan gersangnya tanah mereka, dan menjadi sulit untuk dipulihkan.
Bahkan, ledakan hama justru kerap muncul akibat kultivasi tanaman ideologi asing. Buktinya, banyak hama informasi, bukan? Selain itu, baru-baru ini mulai muncul hama sejarah. Mereka mau membelokkan sejarah agar tanah air mau menampung kultivar ideologi baru mereka. Siapakah itu? Siapa lagi kalau bukan kultivar ideologi translokasi khilafah. Semestinya, karantina mereka, sekat mereka dalam septic tank tertutup, dan beri lubang angin yang kecil, agar tidak meledak!
Muhammad Syamsudin, Peneliti Aswaja NU Center – PWNU Jawa Timur; sarjana biologi UIN Malang.