Arus informasi (media sosial) seperti gelombang tsunami yang menerjang seluruh lapisan masyarakat mulai dari kelompok atas, menengah hingga bawah. Bagi sebagian masyarakat yang tidak melek media sosial, ia hanyut dan dikontrol oleh informasi dalam media sosial, termasuk soal keuangan.
Sebut saja persolan pinjaman online (pinjol). Permasalahan pinjol ini semakin hari, semakin memprihatinkan. Yang jadi korban adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi, apalagi yang tidak memiliki akses pendidikan.
Di sisi lain, perilaku hedonisme antara satu pejabat dengan pejabat yang lainnya sama seperti gayung bersambut. Mereka mempertontonkan perilaku keuangan yang sangat kebablasan. Ada banyak fakta yang bisa kita ambil contoh pamer kekayaan di media sosial.
Anak seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Mario Dandy Satriyo, sering memamerkan gaya hidup mewah di Instagram. Ia memamerkan mobil Jeep Rubicon dan motor gede Harley Davidson, yang kemudian menarik perhatian publik karena diduga berasal dari sumber pendapatan yang tidak jelas (BBC Indonesia, 2023). Rafael Alun Trisambodo, yang memiliki kekayaan mencapai Rp56 miliar, jauh di atas standar kewajaran pejabat eselon III.
Penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Kasus yang melibatkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang dikritik karena menggunakan fasilitas pesawat dinas untuk keperluan pribadi. Meski Ridwan Kamil membantahnya, kasus ini menimbulkan perdebatan tentang penggunaan aset negara (Detik, 2021).
Kasus gratifikasi dan suap. Kasus suap eks Menteri Sosial, Juliari Batubara, yang menerima suap sebesar Rp17 miliar dalam pengadaan bantuan sosial (bansos) Covid-19. Dana ini digunakan untuk kepentingan pribadi dan menunjukkan gaya hidup mewah pejabat di tengah pandemi (CNN Indonesia, 2021).
Pamer barang mewah yang tidak dilaporkan di LHKPN. Istri Irjen Pol. Teddy Minahasa, yang sering memamerkan barang-barang mewah seperti tas Hermes dan jam tangan Rolex di media sosial. Namun, kekayaan tersebut tidak sepenuhnya dilaporkan dalam LHKPN (Kompas, 2023).
Pejabat yang memiliki koleksi kendaraan mewah. Kasus mantan pejabat Bea Cukai Andhi Pramono yang memiliki koleksi mobil mewah dan rumah mewah di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang dianggap tidak sejalan dengan profil pendapatan sebagai pegawai negeri (Liputan6, 2023).
Gaya hidup boros dan gratifikasi. Kasus suap yang melibatkan Nurhadi, mantan Sekretaris Mahkamah Agung, yang mengumpulkan sejumlah uang melalui suap dan gratifikasi. Uang tersebut digunakan untuk membeli properti dan gaya hidup boros lainnya (Detik, 2020).
Gap Psikologi Keuangan
Jika kita simak perilaku hedonisme pejabat dan keluarganya di media sosial, ternyata ada gap psikologi keuangan yang cukup menganga dengan realitas keuangan mereka. Ada hasrat publisitas gaya hidup yang sangat tinggi yang tidak balance dengan kemampuan mereka menghasilkan pendapatan. Dalam pepatah “besar pasak dari pada tiang”.
Hasrat tersebutlah yang membawa mereka pada jurang kriminalitas. Menghalalkan segala cara, hanya untuk menampilkan gaya hidup hedonisme di media sosial yang pada akhirnya membawa kepada persoalan hukum yang serius.
Tidak hanya itu, karena hasrat publisitas gaya hidup, membawa pejabat pada perilaku koruptif dan merugikan keuangan negara. Anehnya ada banyak masyarakat juga yang memimpikan gaya hidup demikian. Padahal, gaya hidup tersebut karena melahab uang masyarakat melalui korupsi.
Perlu digarisbawahi, ada banyak pejabat di Indonesia yang terseret kasus korupsi karena tuntutan publisitas gaya hidup sang isteri, anak, dan keluarganya.
Perlu kesadaran dalam tata kelola keuangan atau mengatur psikologi keuangan. Jangan larut dalam gemerlap dan gaya hidup yang dipertontonkan di media sosial. Ada banyak faktor dan realitas yang berbeda sehingga kita memiliki psikologi keuangan sendiri. Psikologi keuangan antara satu dengan yang lain berbeda. Bisa dipelajari tapi tidak bisa disamakan.
Belajar Psikologi Keuangan
Menurut Housel dalam The Psychology of Money bahwa pengetahuan finansial tidak selalu sama dengan keberhasilan finansial. Contohnya, seseorang mungkin tahu teori investasi yang kompleks, tetapi jika dia tidak dapat mengendalikan emosinya—seperti ketakutan dan keserakahan—kemungkinan besar dia akan membuat keputusan yang buruk.
Kekayaan yang besar sering kali merupakan hasil dari investasi jangka panjang. Salah satu contohnya adalah fenomena "compound interest" atau bunga majemuk, yang hanya benar-benar terasa efeknya setelah waktu yang cukup lama. Kesabaran dalam berinvestasi dan tidak terburu-buru mengambil keputusan sering kali membawa hasil yang lebih baik.
Pendapatan adalah uang yang kita hasilkan, sementara kekayaan adalah uang yang kita simpan dan investasikan. Banyak orang lebih fokus pada penghasilan mereka daripada pada bagaimana mereka mengelola dan menginvestasikan uang yang mereka simpan. Menciptakan kekayaan sering kali melibatkan pengendalian pengeluaran dan perencanaan yang bijaksana.
Kita harus melihat uang sebagai alat untuk mencapai kebebasan dan fleksibilitas, bukan hanya sebagai sarana untuk kesenangan semata. Memiliki uang dapat memberikan pilihan untuk melakukan hal-hal yang kita inginkan tanpa harus tertekan oleh kebutuhan finansial.
Hidup penuh dengan ketidakpastian dan risiko, kemampuan untuk mengelolanya adalah kunci keberhasilan finansial. Ini mencakup memiliki cadangan darurat, menghindari utang yang tidak perlu, dan bersiap untuk masa depan yang tidak pasti. Menyadari dan mempersiapkan ketidakpastian membantu kita untuk tetap tenang dan membuat keputusan yang lebih rasional.
Keyakinan dan cara memandang uang mempengaruhi keputusan keuangan kita. Misalnya, seseorang yang sangat percaya pada kemampuannya mungkin cenderung mengambil risiko yang lebih besar, sementara mereka yang lebih skeptis mungkin terlalu berhati-hati. Memahami mentalitas kita dan bagaimana hal itu mempengaruhi keputusan keuangan adalah langkah penting menuju pengelolaan uang yang lebih baik.
Refleksi Psikologi Keuangan
Menurut Housel ada beberapa kesalahan umum yang sering dilakukan orang dalam hal keuangan, seperti overconfidence, yaitu terlalu percaya diri dalam kemampuan sendiri dapat menyebabkan keputusan yang buruk; short-termism: fokus pada hasil jangka pendek daripada mempertimbangkan keuntungan jangka panjang, dan hedonistic treadmill: terus-menerus mengejar tingkat kehidupan yang lebih tinggi tanpa merasa puas.
Sangat penting memahami konteks pribadi dan nilai-nilai kita dalam perencanaan keuangan. Apa yang mungkin cocok untuk satu orang belum tentu cocok untuk orang lain. Oleh karena itu, strategi keuangan harus disesuaikan dengan tujuan dan situasi pribadi.
Pengaruh lingkungan dan media sosial adalah hal yang mempengaruhi keputusan keuangan kita. Menghindari tekanan sosial dan membuat keputusan berdasarkan kebutuhan dan tujuan pribadi sering kali lebih bermanfaat.
Penulis adalah Ketua Program Studi Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor